BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak
ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam
masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan
tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut "stabilitas
nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena
selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan
harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib
dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam
masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu
oleh bahaya-bahaya disekelilingnya[1].
Masyarakat
berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah
satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam
masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan
konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam
menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan.
Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra
yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal
yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa
atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan,
hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. TATA URUTAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DI
PENGADILAN NEGERI UMUM
1.
Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum[2]
(kecuali perkara tertentu dinyatakan tertutup untuk umum);
2.
PU diperintahkan untuk menghadapkan terdakwa ke depan
persidangan dalam keadaan bebas;
3.
Terdakwa ditanyakan identitasnya dan ditanya apakah sudah menerima
salinan surat dakwaan;
4.
Terdakwa ditanya pula apakah dalam keadaan sehat dan bersedia untuk diperiksa di depan
persidangan (kalau bersedia sidang dilanjutkan);
5.
Terdakwa ditanyakan apakah akan didampingi oleh
Penasihat Hukum (apabila didampingi apakah akan membawa sendiri, kalau tidak
membawa sendiri akan ditunjuk PH oleh Majlis Hakim dalam hal terdakwa diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau lebih/pasal 56 KUHAP ayat (1);
6.
Dilanjutkan pembacaan surat dakwaan;
7.
Atas pembacaan surat dakwaan tadi terdakwa (PH)
ditanya akan mengajukan eksepsi atau tidak;
8.
Dalam terdakwa/PH mengajukan eksepsi maka diberi
kesempatan dan sidang ditunda;
9.
Apabila ada eksepsi dilanjutkan tanggapan JPU atas
eksepsi (replik);
10.
Selanjutnya dibacakan putusan sela oleh Majlis
Hakim;
11.
Apabila eksepsi ditolak dilanjutkan pemeriksaan pokok
perkara (pembuktian)
12.
Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh PU (dimulai
dari saksi korban);
13.
Dilanjutkan saksi lainnya;
14.
Apabila ada saksi yang meringankan diperiksa pula,
saksi ahli Witness/expert)
15.
Pemeriksaan terhadap terdakwa;
16.
Tuntutan (requisitoir);
17.
Pembelaan (pledoi);
18.
Replik dari PU;
19.
Duplik
20.
Putusan oleh Majlis Hakim.
B.
TATA URUTAN DAN TAHAP-TAHAP SIDANG PERKARA
PIDANA DI PENGADILAN NEGERI
1.
SIDANG PERTAMA
Sidang ditetapkan oleh Majelis Hakim dan
dibuka dengan cara sebagai berikut :
a)
Majelis Hakim Memasuki Ruang Sidang
a.
Yang pertama sekali memasuki ruang sidang
adalah: panitera pengganti.jaksa penuntut umum, dan penasehat hukum serta
pengunjung, masing-masing duduk di tempat yang telah ditempatkan;
b.
Pejabat yang bertugas sebagai protocol (biasanya
dilakukan oleh PP) mengumumkan bahwa Majelis Hakim akan
memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri”,termasuk JPU dan PH;
c.
Majelis Hakim memasuki ruang sidang dengan melalui
pintu khusus, yang terdepan Hakim ketua dan diikuti Hakim anggota I (senior)
dan Hakim anggota II (yunior);
d.
Majelis Hakim duduk di tempatnya masing-masing degan
posisi : Hakim ketua di tengah dan Hakim anggota I berada di sebelah kanan dan
Hakim anggota II di sebelah kiri, hadirin dipersilahkan duduk kembali oleh
protocol;
e.
Hakim ketua membuka sidang dengan kata-kata “sidang
pengadilan negeri……..yang memeriksa perkara pidana nomor……..atas nama
terdakwa…….pada hari…tanggal….dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum”, sambil
mengetuk palu sebanyak 3x.
b)
PemanggilanTerdakwa Masuk ke Ruang Sidang
a.
Hakim ketua bertanya ke JPU :”apakah terdakwa siap
untuk dihadirkan pada sidang hari ini ?”. jika JPU tidak bisa menghadirkan
terdakwa maka Hakim harus menunda persidangan pada waktu yang ditentukandengan
perintah kepada JPU untuk menghadirkan terdkakwa pada sidang berikutnya;
b.
Jika JPU siap untuk menghadirkan terdakwa, maka Hakim
ketua memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masukke ruang sidang;
c.
JPU memerintahkan pada petugas agar terdakwa dibawa
masuk ke ruang sidang;
d.
Petugas membawa terdakwa masuk ke ruang sidang dan
mempersilahkan duduk di kursi pemeriksaan. Jika terdakwa tersebut ditahan,
biasanya dari ruang tahanan pengadilan hingga keruang sidang terdakwa dikawal
oleh beberapa petugas. sekalipun demeikian,terdakwa harus diperhadapkan dalam
keadaan bebas, artinya tidak perlu diborgol;
e.
Setelah terdakwa duduk di kursi pemeriksaan, Hakim
ketua mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
1.
Apakah terdakwa dalam keadaan sehat dan siap untuk
diperiksa ?
2.
Menanyakan identitas terdakwa: nama, umur, alamat,dll.
f.
Hakim selanjutnya bertanya : apakah didampingi PH ?
1.
Jika terdakwa didampingi PH, maka Hakim menegaskan hak
terdakwa untuk didampingi PH dengan memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mengambil
sikap sebagai berikut :
-
Maju sendiri (tanpa didampingi PH
-
Mengajukan permohonan pada pengadilan agar ditunjukkan
PH untuk mendampingi secara cumc-Cuma;
-
Meminta waktu kepada meajelis untuk mencari PH
sendiri;
2.
Jika terdakwa didampingi PH,maka proses selanjutnya
adalah:
·
Hakim menanyakan kepada PH apakh benar dalam sidang
ini ia bertindak sebagai PH terdakwa sekaligus meminta kepada PH untuk
menunjukkan memperlihatkan kartu advokatnya dan menunjukkan surat kuasa khusus;
·
Setelah Hakim memriksa kartu advokat dan surat kuasa,
selanjutnya memperlihatkan kepada Hakim anggota yang sebelah kanan kemudaian
Hakim yang sebelah kiri,baru kemudian pada JPU.
c) Pembacaan
Surat Dakwaan
1.
Hakim ketua mempersilahkan kepada JPU untuk membacakan
surat dakwaan dan meminta kepada terdakwa untuk mendengarkan dengan seksama
2.
JPU membacakan surat dakwaan dengan 2 cara :
Duduk dan berdiri. Jika surat
dakwaannya panjang maka pembacaannya dapat digilir sesama JPU
3.
Selanjutnya Hakim Ketua menanyakan kepada terdakwa
:”apakah ia sudah paham /mengerti tentang apa yang didakwakan ? apabila
terdakwa tidak mengerti, maka JPU atas permintaan Hkim ketua,wajib memberi
penjelasan seperlunya.
d) Pengajuan Eksepsi (keberatan)
1.
Hakim ketua menanyakan pada terdakwa atau Phnya,
apakah akan mengajukan tanggapan atau keberatan atas surat dakwaan JPU
2.
Pertama-tama Hakim bertanya pada terdakwa dan memberi
kesempatan untuk menangapi, selanjutnya kesempata kedua diberikan kepada Phnya
3.
Apabila terdakwa/Phnya tidak mengajukan
eksepsi,maka persidangan dilanjutkan pada tahap pembuktian
4.
Apabila terdakwa/Phnya akan mengajukan eksepsi,maka
Hakim bertanya kepada terdakwa/Phnya,apakah telah siap untuk membacakan eksepsi
5.
5. Apabila terdakwa/PH telah siap, maka Hakim ketua
menyatakan sidang ditunda untuk memberi kesempatan pada terdakwa/PH untuk
mengajukan eksepsi pada hari sidang berikutnya
6.
Apabila terdakwa/PH telah siap membacaka eksepsi, maka
Hakim ketua mempersilahkan pada terdakwa/ PH untuk membacakan eksepsinya, dan
eksepsi ini bisa diajukan lisan maupun tertulis
7.
Jika eksepsi secara tertulis, mka setelah dibacakan
eksepsi tersebut diserahkan kepada Hakim dan salinannya diberikan kepada JPU.
Tata cara membacanya sama dengan waktu JPU membacakan surat dakwaa. Eksepsi ini
dapat juga diajukan oleh terdakwa sendiri atau kedua-duanya bersama-sama
mengajukan eksepsi,dan biasa juga terdakwa menyerahkan sepenuhnya kepada PH
8.
Apabila kedua-duanya mengajukan eksepsi, maka
kesempatan pertama diberikan kepada terdakwa lebih dahulu,setelah itu PH nya
9.
Setelah pembacaan eksepsi dan terdakwa/PH, hakim ketua
memberi kesempatan pada JPU untuk mengajukan tanggapan atas eksepsi pada sidang
berikutnya
10. Atas eksepsi
beserta tanggapan tersebut, selanjutnya hakim ketua meminta waktu untuk
mempertimbangkan dan menyusun “putusan sela”
11. Apabila
majelis hakim berpendaat bahwa pertimbangan untuk memutuskan permohonan eksepsi
tersebut mudah/sederhana, maka sidang dapat diskors selama beberapa menit untuk
menentukan putusan sela
12. Tata cara
skorsing sidang ada 2 macam :
Cara I : majelis haki meninggalkan
ruang sidang untuk membahas/mempertimbangkan putusan di ruang hakim, sedangakan
JPU, terdakwa/PH serta seluruh hadirin tetap tinggal di tempat
Cafra II: hakim ketua mempersilahkan
semua yang hadir supaya keluar dari ruang sidang selanjutnya petugas menutup ruang
sidang dan majelis hakim merundingkan putusan sela dalam ruang sidang(cara ini
paling sering dipakai)
13. Apabila
majelis hakim berpendapat bahwa memerlukan waktu yang agak lama dalam
mempertimbangkan putusan sela tersebut, maka sidang dapat ditunda dan dibacakan
padahari sidang berikutnya
e) Pembacaan/pengucapan putusan sela
1.
Setelah hakim mecabut skorsing atau membuka sidang
kembali dengan ketukan palu 1x, hakim ketua menjelaskan pada para pihak yang
hadir dipersidanganbahwa acara selanjutnya dalah pembacaan atau pengucapan
putusan sela
2.
Tata caranya adalah :putusan sela tersebut
diucapkan/dibacakan oleh hakim ketua sambil duduk dikursinya. Apabila naskah
putusan sela tersebut panjang, tidak menutup kemungkinan putusan sela tersebut
dibacakan secara bergantian dengan hakim anggota. Pembacaan amar putusan di
akhiri dengan ketukan palu 1x
3.
Secara garis besar ada 3 kemungkinan isi putusan sela:
a.
Eksepsi terdakwa/PH ditolak, sehingga pemeriksaan
terhadap terdakwa tersebut harus dilanjutkan
b.
Eksepsi terdakwa/PH diterima, sehingga pemeriksaan
terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan (harus dihentikan)
c.
Eksepsi terdakwa/PH baru dapat diputus setelah selesai
pemeriksaan, sehingga sidang harus dilanjutkan.
Setelah putusan sela diucapkan atau
dibacakan, hakim ketua menjelaskan seperlunya mengenai garis besar isi putusan
sela sekaligus menyampaikan hak JPU, terdakwa/PH untuk mengambil sikap menerima
putusan tersebut atau menyatakan perlawanan[3].
2.
SIDANG
PEMBUKTIAN
Sebelum memasuki acara pembuktian,
hakim ketua mempersilahkan terdakwa supaya duduknya berpindah dari kursi
pemeriksaan ke kursi terdakwa yang berada di samping kanan kursi
PH.selanjutnya, procedure dan tata cara pembuktian adalah sebagai berikut:
a)
Pembuktian Oleh Jaksa Penuntut Umum
1.
Pengajuan saksi yang memberatkan (saksi a charge)
a.
Hakim ketua bertanya kepada JPU apakah telah siap
menghadirkan saksi-saksi pada sidang hari ini ?
b.
Apabila JPU telah siap, maka hakim segera
memerintahkan kepada JPU untuk menghadirkan saksi seorang demi seorang ke dalam
ruang sidang
c.
Saksi yang pertama kali diperiksa adalah”saksi
korban”. Dan setelah itu baru saksi yang lain yang dipandang relevan dengan
tujuan pembuktian mengenai tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa, baik
saksi yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara maupun saksi tambahan yang
diminta oleh JPU selama sidang berlangsung
d.
Tata cara pemeriksaan saksi:
1.
JPU menyebutkan nama saksi yang akan diperiksa
2.
Petugas membawa saksi masuk ke ruang sidang dan
mempersilahkan saksi untuk duduk di kursi pemeriksaan
3.
Hakim ketua bertanya kepada saksi tentang :
a.
Identitas saksi)nama, umur, alamat, pekerjaan, agama,
dll)
b.
Apakah saksi kenal dengan terdakwa(apabila perlu hakim
meminta kepada saksi untuk mengamati wajah terdakwa dengan seksama guna
memastikan jawabannya
c.
Apabila saksi mempunyai hubungan darah (sampai derajat
berapa) dengan terdakwa, apakah saksi memiliki hubungan suami/istri dengan
terdakwa,atau apakh saksi terikat hubungan kerja dengan terdakwa
4.
Apabila perlu hakim dapat pula bertanya apakah saksi sekarang
dalam keadaan sehat wal afiat dan siap diperiksa sebagai saksi
5.
Hakim ketua meminta kepada saksi untuk besedia
mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan keyakinannya.
6.
Saksi mengucapkan sumpah menurut agama/keyakinannya
dipandu oleh hakim dan pelaksanaan sumpah dibantu oleh jurusumpah
7.
Tatacara pelaksanaan sumpah yang lazim dipergunakan di
PN yaitu :
a.
Saksi dipersilahkan berdiri agak ke depan
b.
Untuk saksi yang beragama islam, cukup berdiri
tegap saat melafalkan sumpah,dan petugas berdiri di belakangnya sambil
mengangkat al qur’an di atas kepala saksi.untuk saksi yang beragam kristen
/katolik petugas membawakan injil(akitab) di sebelah kiri saksi, pada saat
saksi melafalkan sumpah tangan kiri saksi diletakkan diatas alkitab dan tangan
kanan saksi dan jari tengah dan jari telunjuk membentuk huruf v (victoria)
untuk yang beragama kristen atau mengacungkan jari telunjuk, jari tengah dan
jari manis untuk yang beragama katolik. sedangkan untuk agama lainnya
menyesuaikan
c.
Hakim meminta agar saksi megikuti kata-kata yang
dilafalkan oleh hakim
d.
Lafal sumpah saksi :”saya bersumpah/berjanji bahwa
saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya
e.
Untuk dsksi yang beragama islam,lafal sumpah diawali
dengan ucapa :”wallahi….atau demi Allah ….”,untuk saksi ynag beragama
katolik/kristen protestan lafal sumpah diakhiri dengan ucapan :”semoga tuhan
menolong saya”. Untuk saksi yang beragama hindu lafal sumpah diawali dengan
ucapan :”om atah parama wisesa…”. Untuk saksi yang beragama buddha lafal sumpah
diawali dengan lafal :”demi sang hyang adi budha…..”.
8.
Hakim ketua mempersilahkan duduk kembali dan
mengingatkan bahwa saksi harus memberi keternagan yang sebenarnya, sesuai
dengan apa yang dialaminya, apa yang dilihatnya, atau apa yang didengarnya sendiri.jika
perlu hakim juga dapat mengingatkan bahwa apabila saksi tidak mengatakan yang
sesungguhnya, ia dapat dituntut karena sumpah palsu. Hakim ketu mulai memeriksa
saksi dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang
didakwakan pada terdakwa.
9.
Setelah hakim kutua selesai mengajukan pertanyaan pada
saksi, hakim anggota, JPU, terdakwa/PH juga diberi kesenmpata
untuk mengajukn pertanyaan pada saksi
10.
Pertanyaan ang diajukan kepada saksi diarahkan untuk
menangkap fakta yang sebenarnya, sehingga harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a.
Materi pertanyaan diarahkan untuk pembuktian
unsur-unsur perbuatan yang didakwakan
b.
Pertanyaan harus relevan dan tidak berbelit-belit,
bahasa dan penyampaiannya harus dipahami oleh saksi
c.
Pertanyaan tidak boleh bersifat menjerat atau menjebak
saksi
d.
Pertanyaan idak boleh bersifat peng kualifikasian
delik
e.
Hindari pertanyaan yag bersifat pengulangandari
pertanyaan yang sudah di tanyakan, kecuali hal tersebut ditujukan dalam rangka
memberi penekanan pada suatu fakta tertentu atau penegasan terhadap keterangan
yang bersifat ragu-ragu
Hal tersebut di atas pada dasarnya
bersifat sangat merugikan terdakwa atau pemeriksaan itu sendiri, sehinga pabila
dalam pemeriksaan saksi hal tersebutterjadi maka pihak yang mengetahui dan
merasa dirugikan atau merasa keberatan dapat mengajukan keberatan/interupsi
pada hakim ketua dengan menyebutkan alasannya. sebagai contoh pertanyaan JPU
bersifat menjerat terdakwa, maka PH dapat protes dengan kata-katanya kira-kira
sbb :”interupsi ketua majelis ….pertanyaan JPU menjerat saksi”. Satu contoh
lagi,jika pertanyaan PH berbelit-belit maka JPU dapat mengajukan protes,
misalnya dengan kata-kata :”keberatan ketua majelis ….pertanyaanPH
membingungkan saksi”. Atas keberatan atau interupsi tersebut hakim ketua
langsung menanggapi dengan menetapkan bahwa interupsi/keberatan ditolak atau
diterima. Apabila interupsi ditolak maka pihak yang sedang mengajukan
pertanyaan dipersilahkan untuk melanjutkan pertanyaannnya, sebaliknyajika
ditolak maka pihak yang menhgajukan pertanyaan diminta untuk mengajukan
pertanyaan lain.
11.
Selama memriksa saksi hakim dapat menunjukkan barang
bukti pada saksi guna memastikan kebenaran yang berkaitan dengan barang bukti
tersebut.
12.
Setiap kali saksi selesai memberikan keterangan, hakim
ketua menanyakan kepada terdakwa, bagaimana pendapatnya tentang keterangan
tersebut ?
a.
Setelah pemeriksaan terhadap satu saksi selesai,hakim
ketua mempersilahkan duduk saksi tersebut untuk duduk di kursi
saksi yang terletk di belakang kursi pemeriksaan
b.
Selanjutnya hakim ketua bertanya kepada JPU, apakah
masih ada saksi yang akan diajukan pada sidang hari ini. Demikian dan
seterusnya hingga JPU mengatakan tidak ada lagi saksi yang akan
diajukan
c.
Apabial ada saksi karena halangan yang sah tidak dapat
dihadirkan dalam persidangan maka keterangan yang telah diberikan pada saat
penyidikan sebagaimana tercatat dalam BaP dibacakan.dalam hal ini yang bertugas
membacakan berita acara tersebut adalaha hakim ketua, namun seringkali
hakimketua meminta agar JPU yang membacakan
2.
Pengajuan alat bukti lainnya guna mendukung
argumentasi JPU.
a.
Hakim ketua menanyakan apakah JPU masih akan
mengajukan alat bukti bukti lainnya seperti: keterangan ahli dan
surat serta tambahan barang bukti yang ditemukan selama proses persidangan
b.
Apabila JPU mengatakan masih, maka tata cara pengajuan
bukti-bukti tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Tata cara pengajuan saksi ahli sama seperti tata cara
pengajuan saksi lainnya. perbedaannya yaitu keterangan yang diberikan oleh ahli
adalah pendapatnya terhadap suatu kebenaran sesuai dengan pengetahuan atau
bidang keahliannya, sehingga lafal sumpahnya disesuaikan menjadi : “ saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan memberikan pendapat soal-soal yang
dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya”.
2.
Tata cara pengajuan alat bukti surat(hasil pemeriksaan
laboratorium criminal, visum e repertum dll) adalah : JPU maju kedepan dan
menunjukkan alat bukti surat yang diajukan pada mejelis hakim. hakim ketua
dapat memanggil terdakwa atau PH untuk maju kedepan supaya dapat
menyaksikan alat bukti surat yang diajukan
3.
Tata cara pengajuan alat bukti, JPU pada petugas untuk
membawa masuk barang buti ke ruang sidang. apabila barang bukti tersebut
bentuknya tidak besar dan tidak berat (uang pistol,pakaian dll), dapat langsung
diletakan di meja hakim jika bentuknya besar namun bisa dibawa masuk ke ruang
sidang (misalnya sepeda),cukup diletakkan di lantai ruang sidang saja. Jika
bentuknya besar dan tidak bisa dibawa masuk ke ruang sidang (misalnya mobil),majelis
hakim diikuti JPU, terdakwa/PH harus keluar dari ruang sidang untuk
memeriksabarang bukti tersebut. Demikian juga mengenai barang bukti yang karna
sifat dan jumlahnya tidak dapat seluruhnya diajukan, maka cukup diajukan
samplenya saja.
c.
Apabila JPU mengatakan bahwa semua bukti-bukti telah
diajukan, maka hakim ketua memberi kesempatan pada terdakwa/PH untuk mengajukan
bukti-bukti
b)
Pembuktian Oleh Terdakwa/ Penasihat Hukum
1.
Pengajuan saksi yang meringankan terdakwa(saksi a de
charge) :
a.
Hakim ketua bertanya kepada terdakwa/PH apakah ia akan
mengajukan saksi yang menguntungkan/meringankan (a de charge)
b.
Jika terdakwa/PH tidak akan mengajukan saksi ataupun
bukti lainnya,maka ketua majelis menetapkan bahwa sidang akan dilanjutkan pada
acara pengajuan tuntutan oleh JPU
c.
Apabila terdakwa/PH akan dan telah siap mengajukan
saksi yang meringankan, maka hakim ketua segera memerintahkan agar saksi di
bawaah masuk ke ruang sidang untuk diperiksa
d.
Selanjutnya tata cara pemeriksaan saksi A de charge
sama dengan pemeriksaan saksi A charge, dengan titik berat pada
pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pengungkapan fakta yang bersifat membalik/melemahkan
dakwaan JPU atau setidaknya meringankan terdakwa.
2.
Pengajuan alat bukti lainnya guna mendukung
argumentasi terdakwa/PH
a.
Hakim ketua menanyakan apakah terdakwa/PH masih akan
mengajukan bukti-bukti lainnya seperti : keterangan ahli dan surat serta
tambahan barang bukti yang ditemukan selama proses persidangan
b.
Apabila terdakwa/PH menyatakan masih, maka tata cara
pengajuan bukti tersebut sama dengan cara pengajuan oleh JPU
c.
Apabila terdakwa/PH mengatakan bahwa semua bukti-bukti
telah diajukan, maka hakim ketua menyatakan bahwa acara sidang selanjutnya
adalah pemeriksaan pada terdakwa
c)
Pemeriksaan Pada Terdakwa
1.
Hakim ketua mempersilahkan kepada terdakwa untuk duduk
di kursi pemeriksaan
2.
Terdakwa berpindah dari kursi terdakwa ke kursi
pemeriksaan
3.
Hakim bertanya kepada terdakwa :”apakah terdakwa dalam
keadaan sehatdan siap untuk diperiksa”
4.
Hakim mengingatkan pada terdakwa untuk menjawab semua
pertanyaan dengan jelas dan tidak berbelit-belit sehingga tidak mempersulit
jalannya persidangan
5.
Hakim ketua mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan
pada terdakwa diikuti oleh hakim anggota, JPU dan PH. Majelis hakim dapat
menunjukkan segala jenis barangbukti dan menanyakan pada terdakwa apakah ia
mengenal benda tersebut. Jika perlu hakim juga dapat menunjukkan surat-surat
atau gambar/photo hasil rekonstruksi yang dilampirkan pada BAP pada terdakwa
untuk meyakinkan jawaban atas pertanyaan hakim atau untuk menegaskan suatu
fakta
6.
Selanjutnya tata cara pemeriksaan pada terdakwa sama
pada tata cara pemeriksaan saksi kecuali dalam hal sumpah
7.
Apabila terdakwanya lebih dari satu dan diperiksa
bersama-sama dalam suatu perkara, maka pemeriksaannya dilakukan satu persatu
dan bergiliran. apabila terdapat ketidaksesuaian jawaban diantara para
terdakwa, maka hakim dapat meng-cross-check-kan antara jawaban terdakwa yang
satu dengan terdakwa lainnya
8.
Setelah terdakwa (para terdakwa) selesai diperiksa
maka hakim ketua menyatakan bahwa seluruh rangkaian sidang pembuktian telah
selesai dan selanjutnya hakim ketua memberi kesempata kepada JPU untuk
mempersiappkan surat tuntutan (requisitoir) unyuk diajukan pada hari sidang
berikutnya,
3.
SIDANG
PEMBACAAN TUNTUTAN, PEMBELAAN DAN TANGGAPAN-TANGGAPAN
1)
Pembacaan Tuntutan (requisitoir)
1.
Setelah membuka sidang, hakim ketua menjelaskan bahwa
acara sidang hari ini adalah pengajuan tuntutan. Selanjutnya hakim ketua
bertanyapada JPU apakah telah siap mengajukan tuntutan pada sidang hari ini
2.
Apakah JPU sudah siap mengajukan tuntutan, maka hakim
ketua mempersilahkan pada JPU untuk mengajukan/ membacakan tuntutannya. Sebelum
tuntutan dibacakan, maka hakim ketua meminta kepada terdakwa agar menyimak
dengan baik isi tuntutan
3.
JPU membacakan tuntutan. Tata cara pembacaan tuntutan
sama dengan tata cara pembacaan dakwaan
4.
Setelah selesai membacakan tuntutan, JPU menyerahkan
naskah tuntutan (asli) pada hakim ketua dan salinannya pada terdakwa/PH
5.
Hakim ketua bertanya kepada terdakwa apakah terdakwa
paham dengan isi tuntutan yang telah dibacakan oleh JPU tadi. Jika perlu, hakim
ketua menjelaskan sedikit inti dari tuntutan tersebut,terutama yang berkaitan
dengan kesalahan terdakwa dan hukuman yang dituntutkan oleh JPU
6.
Hakim ketua bertanya pada terdakwa/PH, apakah akan
mengajukan pembelaan (pledoi)
7.
Apabila terdakwa/PH menyatakan akan mengajukan
pembelaan maka hakim ketua memberikan kesempatan pada terdakwa/ PH untuk
mempersiapkan pledoi
b)
Pengajuan/Pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi)
1. Hakim ketua
bertanya kepada terdakwa apakah akan mengajukan pembelaan. Jika terdakwa akan
mengajukan pledoi terhadap dirinya, maka hakim menanyakan kepada terdakwa
apakah akan mengajukan sendiri pembelaannya atau menyerahkan sepenuhnya kepada
PH nya
2. Jika
terdakwa mengajukan sendiri pembelaannya, maka pertama-tama yang diberi
kesempatan untuk mengajukan pembelaan adalah terdakwa. Sebelumnya hakim ketua
menanyakan pada terdakwa apakah akan mengajukan secara lisan atau tulisan
3. Terdakwa
mengajukan pembelaan :
a.
Apabila terdakwa mengajukan pembelaan secara lisan,
maka pada umumnya terdakwa mengajukan pembelaannya sambil tetap duduk di kursi
pemeriksaan dan isi pembelaan tersebut selain dicatat oleh panitera dalam
berita acara pemeriksaan, juga dicatat oleh pihak yang bekepentingan termasuk
hakim
b.
Apabila terdakwa mengajukan pembelaan secara tertulis,
maka hakim dapat meminta agar terdakwa membacakan pembelaannya sambil berdiri
di depan kursi pemeriksaan dan setelah selesai dibaca nota pembelaan diserahkan
pada hakim
4.
Setelah terdakwa membacakan pembelaannya atau jika
terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya kepada PH, maka hakim ketua
bertanya kepada PH, apakah telah siap dengan nota pembelaannya
5.
Apabila PH telah siap dengan pembelaan, maka hakim
ketua segera mempersilahkan PH untuk membacakan pembelaannya. Adapun tata cara
pembacaan pembelaan oleh PH sama dengan pengajuan eksepsi
6.
Setelah pembacaan nota pembelaan selesai, maka naskah
nota pembelaan (asli) diserahkan pada hakim ketua,dan salinannya diserahkan
pada JPU dan terdakwa
7.
Selanjutnya hakim ketua bertanya kepada JPU apakah ia
akan mengajukan tanggapan terhadap pembelaan terdakwa/PH (replik)
8.
Apabila JPU akan menanggapi pembelaan terdakwa/PH,
maka hakim ketua memberi kesempatan pada JPU untuk mengajukan replik
c)
Pengajuan/Pembacaan Tanggapan-tanggapan (replik dan
duplik)
1.
Apabila JPU telah siap dengan repliknya, maka hakim
ketua segera mempersilahkan JPU untuk membacakannya
2.
Tatacara pembacaan replik sama dengan pembacaan
requisitoir
3.
Setelah replik diajukan/dibacakan oleh JPU maka hakim
ketua memberi kesempatan pada terdakwa/PH untuk mengajukan duplik
4.
Apabila terdakwa/PH telah siap dengan dupliknya, maka
hakim ketua mempersilahkannya untuk membacakan
5.
Tatacara pembacaan duplik sama dengan pembacaan
pembelaan
6.
Jika acara tersebut di atas telah selesai, maka hakim
ketua sidang bertanya pada para pihak yang hadir dalam persidangan tersebut,
apakah ada hal-hal yang akan diajukan dalam pemeriksaan. Apabila
JPU,terdakwa/PH menganggap telah cukup, maka hakim ketua menyatakan bahwa
“pemeriksaan dinyatakan ditutup”
7.
Hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang selanjutnya
adalah pembacaan putusan, oleh sebab itu guna mempersiapkan konsep putusannya
hakim meminta agar sidang ditunda untuk beberapa waktu
4.
SIDANG PEMBACAAN PUTUSAN
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim
mempertimbangkan berdasarkan atas surat dakwaan, segala sesuatu yang terbukti
di persidangan, tuntutan pidana, pembelaan, dan tanggapan-tanggapan
(replik-duplik). Apabila perkara ditangani oleh majelis hakim, maka dasar-dasar
pertimbangan tersebut harus dimusyawarahkan oleh majelis hakim. Setelah naskah
putusan siap dibacakan, maka langkah selanjutnya adalah :
a.
Hakim ketua menjelaskan bahwa acara sidang hari ini
adallah pembacaaan putusan. Sebelum putusan dibacakan oleh hakim ketua meminta
agar para pihak yang hadir memperhatikan isi putusannya dengan seksama
b.
Hakim ketua muai membacakan putusan. Tata cara
pembacaan putusan sama dengan tata cara pembacaan putusan sel. Apabia naskah
putusan panjang maka hakim anggota dapat menggantikan secara
bergantian
c.
Pada saat hakim akan membaca/mengucapkan amar putusan
(sebeum mulai membaca kata” mengadii….”) maka hakim ketua memerintahkan kepada
terdakwa untuk berdiri di tempat
d.
Setelah amar putusan dibacakan seluruhnya, hakim ketua
mengetukkan palu 1x dan mempersilahkan terdakwa untuk duduk kembali
e.
Hakim ketua memjelaskan secara singkat isi putusannya
terutama yang berkaitan dengan dengan amar putusannya hingga terdakwa mengerti
terhadap putusan yang dijatuhkan terhadapnya
f.
Hakim ketua menjelaskan hak-hak para pijak terhadap
putusan tersenut. Selnjutnya hakim ketua menawarkan pada terdakwa
untuk menentukan sikapnya, apakah akan menyatakan siap menerima putusan
tersebut, menyatakan menerima dan akan mengajukan grasi, menyatakan naik
banding atau berpikir-pikir. Dalam hal ini terdakwa dapat diberi waktu sejenak
untuk berkonsultasi dengan PH nya atau terdakwa mempercayakan haknya kepada PH.
Hal yang sama jua ditawarkan kepada JPU. Jika terdakwa/PH menyatakan sikap
menerima, maka hakim ketua memerintahkan agar terdakwa menandatangani berita
acara menerima pernyataan menerima putusan yang yang teah disiapkan oleh PP.
jika terdakwa mengajukan banding, maka terdakwa diminta agar segera
menandatangani akta permohonan banding (dapat dikuasakan kepada PH). Jika
terdakwa/PH menyatakan pikir-pikir dulu,maka hakim ketua menjelaskan bahwa masa
pikir-pikir diberikan selam 7 hari, apabila setelah 7 hari terdakwa tidak
menyataka sikap, maka terdakwa dianggap menerima putusan. Hal ini juga sama
juga dilakukan terhadap JPU
g.
Apabila tidak ada hal-hal yang akan disampaikanlagi,
maka hakim ketua menyatakan bahwa seuruh rangkaian acara persidangan perkara
pidana yang bersangkutan telah selesai dan menyatakan sidang ditutup. Tata
caranya adlah : setelah mengucapkan kata-kata “ ……sidang dinyatakan ditutup”
maka hakim ketua mengetukkan palu 3x
h.
Pejabat yang bertugas sebagai p[rotokol mengumumkan
bahwa hakim/majelis hakim akan meninggalkan ruang sidang, dengan kata-kata
kurang lebih “ hakim/majelis hakim akan meningalkan ruang sidang, hadirin
dimohon untuk berdiri
i.
Semua yang hadir dalam sidan tersebut, termasuk PH dan
JPU turut berdiri
j.
Hakim/majelis hakimmeningalkan ruang sidang dengan
meallui pintu khusus, muai dari yang terdepan Hakim ketua diikuti oeh hakim
anggota 1 dan kemudian hakim anggota II
k.
Para pengunjung sidang, JPU,PH, terdakwa
berangsur-angsur meninggalkan ruang sidang. apabila putusan menyatakan terdakwa
tetap ditahan, maka pertama-tama yan meninggalkan ruang sidang adalah terdakwa
dengan dikawal petugas.
C. ATURAN ATURAN HUKUM
1.
Peradilan
Agama
Setelah
Indonesia merdeka, dasar yuridis Peradilan Agama dikuatkan dengan beberapa
Undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah disamping dasar hukum yang
telah dikuatkan dan disebutkan. Perundang-undangan[4]
inilah yang kemudian menunjukkan keberadaan Peradilan Agama secara eksis di
Indonesia, masing-masing adalah:
1.
Perundang-undangan dan peraturan;
2.
DekritPresiden.
3.
AturanPresiden No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945, segala
bentuk badan-badan Negara masihberlaku selama belum ada perubahan dan tidak
bertentangan dengan Undang-undangDasar 1945.
4.
KeputusanPemerintah No. 1 Tahun 1946 tentang
pembentukan Departemen Agama.
5.
Undang-undangNo. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan
nikah, talaq, dan rujuk.
6.
Undang-undangNo. 22 Tahun 1952 peraturan tentang
kemungkinan hilangnya surat putusan dansurat-suratpemeriksaan pengadilan.
7.
Undang-undangNo. 32 Tahun 1954 tentang penetapan
berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1946.
8.
Undang-undangNo. 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok-pokok kehakiman. Kemudiandari Undang-undang inilah
para pakar hukum mengatakan bahwa Peradilan Agamakeberadaannya semakin kuat
karena telah masukdalam Tata Hukum di Indonesia.
9.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
10.
Undang-undang No. 14 Tahun 1975 tentangmahkamah Agung.
11.
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama.
a) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang yaitu PP No. 27Tahun 1960 tentang uang
honorarium dan juru sumpah.
b) Ketetapan
Pemerintah.
1.
No. 1/1945 s/d Tahun 1946 tentang mengadakanDepartemen
Agama dan balai Pemuda yang menjadi Departemen Sosial.
2.
No. 5/1945 s/d Tahun 1946 tentang MahkamahIslam Tinggi
bagian Kementrian Kehakiman dipindahkan ke Menteri Agama (AbdulGani Abdullah,
1991: 9).
c) Peraturan
Pemerintah.
1.
PP No. 10 Tahun 1947 tentang sumpah jabatanHakim,
Jaksa, Panitera, dan Panitera Pengganti.
2.
PP No. 19 Tahun 1947 menambah PeraturanPemerintah No.
10 Tahun 1947.
3.
No. 45Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama
/ Mahkamah Syar’iyah untuk luarJawa dan Madura, dan sebagian luar Kalimantan
Selatan (Djamil Latif, 1983: 13).
4.
PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaanUndang-undang
Perkawinan.
5.
PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan TanahMilik.
6.
PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinandan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
7.
PP No. 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinandan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Perubahan atas Peraturan PemerintahNo. 10
Tahun 1983.
d) Keputusan
Presiden
1.
No. 18Tahun 1977 tentang tunjangan jabatan Hakim pada
Peradilan Agama.
2.
No. 17Tahun 1985 tentang Organisasi kepaniteraan atau
Sekretariat Jendral MahkamahAgung.
e) Peraturan
Mahkamah Agung
1.
No. 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembaliputusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.
No. 1 Tahun 1982 tentang Peraturan MahkamahAgung.
f) Keputusan
Bersama
Ketua
Mahkamah Agung RI, Menteri Agama RI, dan Menteri KehakimanRI:
KMA/010/SKB/II/1988 tentang tata cara bantuan tenaga Hakim untuk
lingkunganPeradilan Agama dan latihan jabatan bagi Hakim serta Panitera
Pengadilan Agama.
g) Keputusan
Ketua Mahkamah Agung
No. KMA/013/SK/III/1988
tentang pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara Peradilan Agama.
h) Peraturan
Menteri Agama RI.
1.
No. 1 Tahun1952 tentang Wali Hakim
2.
No. 4 Tahun1952 tentang Wali Hakim untuk Jawa dan
Madura
3.
No. 1 Tahun1978 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977
i) Penetapan
Pemerintah
1.
No. 5 Tahun1952 tentang Pembentukan Kembali Peradilan
Agama Bangil
2.
No. 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Kembali
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diSumatra
3.
No. 4 Tahun1958 tentang Pembentukan kembali Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah diKalimantan
4.
No. 5 Tahun1958 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah diSulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.
5.
No. 25 Tahun 1958 tentang Pembentukan cabang kantor
Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ahdi Tanjung Karang untuk daerah Lampung Utara
dan Kota Bumi.
j) KeputusanMenteri
Agama RI
1.
No. 23 Tahun 1966 tentang pembentukan kantorPeradilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah (Sumatra, Nusa Tenggara, Kalimantan danMaluku).
2.
No. 61 Tahun 1961 tentang pembentukan cabangkantor
Peradilan Agama cabang Jawa dan Madura.
3.
No. 62 Tahun 1961 tentang pembentukan cabangkantor
Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk Aceh dan Padang.
4.
No. 85 Tahun 1961 tentang Pengakuan Badan
PenasehatPerkawinan Penyelesaian Perceraian (BP4)
5.
No. B/IV/2/5593/1966 tentang peleburan badanHakim
syara’pada dewan Adat Maluku, Ternate kedalam Pengadilan Agama/
MahkamahSyar’iyah
6.
No. 87 Tahun 1966 tentang Penambahan Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah tingkat II Sulawesidan Maluku.
7.
No. 4 Tahun 1967 tentang perubahankantor-kantor
Peradilan Agama untuk daerah khusus Jakarta (Abdul Gani Abdullah,1991: 11).
D. Peradilan militer
1.
Dasar hukum
keberadaan Pengadilan Militer :
1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tentara/Militer (KUHPM).
2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3) Surat
Keputusan bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman No. KEP/ 10/M/XII/1983
M.57.PR.09.03.th.1983 tanggal 29 Desember 1983 tentang Tim Tetap
Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas.
4) Keputusan
Pangab Nomor : KEP/01/P/I/1984 tanggal 20 Januari 1985 lampiran “K” tentang
organisasi dan prosedur Badan Pembinaan Hukum ABRI.
5) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
6) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
7) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung.
8) Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
9) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2.
Tempat Kedudukan
:
Peradilan
Militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan
Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara.
Berdasarkan
lampiran II Kep Panglima TNI Nomor : KEP/6/X/2003 tanggal 20 Oktober 2003
tentang daftar nama, tempat kedudukan dan daerah hukum Pengadilan Militer dan
Oditurat Militer, Pengadilan Militer II-09 Bandung berkedudukan di daerah
propinsi Jawa Barat yaitu Bandung dengan daerah hukum meliputi seluruh daerah
di Jawa Barat.
3. Kompetensi Pengadilan Militer :
Pengadilan Militer II-09 Bandung
mempunyai kewenangan :
a. Mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah : prajurit atau yang berdasar- kan UU
dipersamakan dengan prajurit
b. Memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
c. Menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas
permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh
tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara
tersebut dalam satu putusan.
4.
Yurisdiksi Pengadilan Militer II-09 Bandung :
Bahwa Pengadilan Militer II-09
Bandung mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI dengan pangkat
Kapten kebawah yang :
a. Tempat
kejadiannya berada didaerah hukum Pengadilan Militer II-09 Bandung.
b. Terdakwanya
termasuk suatu kesatuan yang berada didaerah hukum Pengadilan Militer II-09
Bandung (se-Jawa Barat).
5.
Persyaratan
sebagai Hakim Pengadilan Militer :
Adapun persyaratan Hakim Pengadilan
Militer adalah sebagai berikut
a. Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
b. Setia
dan taat kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 ;
c. Tidak
terlibat partai atau organisasi terlarang ;
d. Paling
rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum ;
e. Berpengalaman
di bidang peradilan dan/atau hukum ; dan
f. Berwibawa,
jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.
Sedangkan
mengenai pengangkatan dan pemberhentian seorang Hakim Militer dilakukan oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung[5].
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Badan
Peradilan yang Berada di bawah Mahkamah Agung Meliputi badan Peradilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Selain itu, sesuai dengan amandemen UUD 1945, ada Mahkamah
Konstitusi yang juga menjalankan kekuasaan kehakiman bersama – sama dengan
Mahkamah Agung.
Peradilan
Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Sedangkan Peradilan Tinggi
Negeri bertugas dan berwenang Pengadilan Tinggi Negeri bertugas dan berwenang
mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiyanto,
Drs. ”Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara Untuk SMU” Jakarta, Erlangga, 2003
Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi
manusia dalam hukum nasional dan intemasional, Ghalia Indonesia
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah
peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung
Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., Sistim
Peradilan Berwibawa: Suatu Pencarian, FH UII Press, Yogyakarta, 2005. hlm.
15
[1] Sudikno
Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia
sejak 1942, PT Gunung Agung
[2] Budiyanto, Drs. ”Dasar-Dasar Ilmu Tata
Negara Untuk SMU” Jakarta, Erlangga, 2003
[3] Masyhur
Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan intemasional,
Ghalia Indonesia
[4] Prof.
Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., Sistim Peradilan Berwibawa:
Suatu Pencarian, FH UII Press, Yogyakarta, 2005. hlm. 15
[5] Mr. R.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad,
W. Versluys N.V., Jakarta, 1957. hlm. 101