BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah
panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia mulai melakukan
interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga berlangsung bersamaan dengan
tafsiran-tafsiran terhadap alam semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan
teater tidak jauh berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara
manusia dan alam semesta. Selain itu, sejarah seni teater pun diyakini berasal
dari usaha-usaha perburuan manusia primitif dalam mempertahankan kehidupan
mereka. Pada perburuan ini, mereka menirukan perilaku binatang buruannya.
Setelah
selesai melakukan perburuan, mereka mengadakan ritual atau upacara upacara
sebagai bentuk “rasa syukur” mereka, dan “penghormatan” terhadap Sang Pencipta
semesta. Ada juga yang menyebutkan sejarah teater dimulai dari Mesir pada 4000
SM dengan upacara pemujaan dewa Dionisus. Tata cara upacara ini kemudian
dibakukan serta difestivalkan pada suatu tempat untuk dipertunjukkan serta
dihadiri oleh manusia yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Teater
Teater (Bahasa
Inggris "theater" atau "theatre", Bahasa Perancis
"théâtre" berasal dari Bahasa Yunani "theatron", θέατρον,
yang berarti "tempat untuk menonton") adalah cabang dari seni
pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan
menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik,
tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Univesitas
Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater
sebagai " yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam
suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain." Teater
bisa juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari
India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi performance serta pantomim.
Teater adalah tempat
persembahan - persembahan kesenian yang dilakonkan di hadapan penonton secara langsung
menggunakan kombinasi pertuturan, gerak isyarat, muzik, tarian, bunyi dan
sebagainya.
Terdapat pelbagai jenis persembahan teater,
antaranya ialah: opera, balet, pantomim dan wayang kulit. Selain itu, menurut prof. datin. dr. rahmah
hj bujang dalam bukunya yang berjudul Glosari Kesenian Melayu pula ialah teater
adalah sebarang perlakuan kisah atau cerita dalam satu kawasan yang ditentukan
sebagai pentas untuk perlakuannya dan menuntut pergerakan fizikal; dengan
mempunyai komponen aksi dan reaksi para pelaku, yaitu para pelakon, dan
pemerhati, yaitu audiens atau penontonnya.
Beberapa
macam arti teater:
1.
Secara etimologis : Teater adalah gedung
pertunjukan atau auditorium.
2.
Dalam arti luas : Teater ialah segala
tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak
3.
Dalam arti sempit : Teater adalah drama,
kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media
: Percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang
oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb.
B.
Sejarah
Singkat Teater
Waktu
dan tempat pertunjukan teater pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang
dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang
asal mula teater adalah sebagai berikut:
·
Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara
semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun
upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga
sekarang.
·
Berasal
dari nyayian untuk menghormati seorang
pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat
hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
·
Berasal
dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian
juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang, dsb).
C. Sejarah Teater di Indonesia
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006)
mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman
Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional
banyak digunakan untuk 24 mendukung upacara ritual. Teater tradisional
merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat
dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut
“teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan
suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan
upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang
lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakatlingkungannya.
Proses terjadinya
atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu
daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk
teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya
masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini
disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di
Indonesia.
a. Wayang
Wayang
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri
bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang
di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain
pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung
dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah
dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk
semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya
pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua. Sedangkan bentuk
wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal
mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun
930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar
yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para
dewa dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal).
Orang
sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit
sebagaimana dikenal sekarang.
b. Mamanda
Daerah
Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jeniskesenian antara lain yang paling
populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat
kerakyatan, yang orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun
1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang
lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini
sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan.
Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada
Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek.
Nama
teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.
c. Ketoprak
Ketoprak
merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan
daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di
daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam
kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan
emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang
menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya
menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu
bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa
sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus
diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa.
Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
· Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
· Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
· Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat
yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang
diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga
kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa
dengan bahasa yang halus dan spesifik.
D.
Intellegensi
Teater
Otak bukan hanya segumpalan
materi yang dapat dibandingkan sebagai gumpalan daging yang biasa. Tetapi otak
memiliki fungsi yang sangat penting untuk kita, seperti juga fungsi jantung
untuk peredaran darah dalam tubuh kita. Otak manusia dewasa diperkirakan
mengandung antara 12-15 miliyar sel saraf, itupun sel yang ada pada otak besar
(neokorteks) belum ditambah dengan otak reptil dan mamalia, sehingga mencapai
200 miliar sel..Dan dari situlah manusia memiliki berbagai kemampuan seperti
daya ingat ,berfikir,merasa dan lain sebagainya.
Dari pembagian otak
tersebut, dibagi lagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi otak kiri dan otak kanan.
Dari setiap belahan otak itu mempunyai fungsi tersendiri yang diatur oleh
“alat” penghubung kedua otak tersebut. Dan koordinasi dari kedua otak itu yang
memaksimalkan fungsinya, .kalau penghubung itu terganggu, kedua belahan otakpun
ikut terganggu. Otak kiri terkait dengan kemampuan logika, matematika, bilangan
, bahasa, daya ingat dan daya analisa. Sementara belahan otak kanan banyak
berfungsi dalam penguasaan bentuk dan pola, penguasaan ruang, irama,
penggambaran, imajinasi dan ukuran dimensional.
E. Gaya Pementasan
Gaya dapat didefinisikan sebagai corak
ragam penampilan sebuah pertunjukan yang merupakan wujud ekspresi dari:
·
Cara
pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan cerita kehidupan di atas
pentas
·
Konvensi
atau aturan-aturan pementasan yang berlaku pada masa lakon ditulis
·
Konsep
dasar sutradara dalam mementaskan lakon yang dipilih untuk menegaskan makna
tertentu.
Gaya penampilan pertunjukan teater secara
mendasar dibagi ke dalam tiga (3) gaya besar yaitu; Presentasional,
Representasional (Realisme), dan Post-Realistic.
-
Presentasional
Hampir semua teater klasik menggunakan
gaya ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan
dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu
menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar
dipersembahkan kepada penonton. Yang termasuk dalam gaya ini adalah:
a.
Teater
Klasik Yunani dan Romawi
b.
Teater
Timur (Oriental) termasuk teater tradisional Indonesia
c.
Teater
abad pertengahan
d.
Commedia
dell’arte, teater abad 18
Unsur-unsur gaya Presentasional
adalah:
·
Para
pemain bermain langsung di hadapan penonton. Artinya, karya seni pemeranan yang
ditampilkan oleh para aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada
khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah, gerak, wicara sengaja
diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
·
Gerak
para pemain diperbesar (grand style), menggunakan wicara menyamping (aside),
dan banyak melakukan soliloki (wicara seorang diri).
·
Menggunakan
bahasa puitis dalam dialog dan wicara.
Beberapa lakon yang biasa dan dapat
dipentaskan dengan gaya Presentasional, di antaranya adalah:
·
Romeo and Juliet, Piramus dan Thisbi, Raja
Lear, Machbeth
(William Shakespeare)
·
Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib
Gadungan (Moliere)
·
Oidipus (Sopokles)
·
Epos
dan Roman Sejarah yang biasa dipentaskan dalam teater tradisonal Indonesia
-
Representasional (Realisme)
Seiring berkembangya ilmu pengetahuan
dan teknologi pada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dan tata
panggung maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk
mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini
melahirkan gaya yang disebut Representasional atau biasa disebut Realisme. Gaya
ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa
yang disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi
potongan cerita kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah
tidak ada penonton yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar
menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.
Gaya Realisme sangat mempesona karena
berbeda sekali dengan gaya Presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut
dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas
pentas adalah kejadian sesungguhnya. Unsur-unsur gaya Representasional
adalah:
·
Aktor
saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada
sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah
kenyataan
·
Menciptakan
dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara
penonton dan pemain
·
Konvensi
seperti wicara menyamping (aside) dan soliloki sangat dibatasi
·
Menggunakan
bahasa sehari-hari.
Beberapa lakon yang
biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya Representasional, di antaranya adalah:
·
Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih
Hutang, Pinangan (Anton
Chekov)
·
Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh
Masyarakat
(Henrik Ibsen)
·
Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali
Intan, Penggali Kapur
(Kirdjomuljo)
·
Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin)
·
Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje)
Dalam perkembangannya gaya
Representasional atau Realisme ini melahirkan gaya-gaya baru yang masih berada
dalam ruang lingkupnya yaitu; Naturalisme, Selektif Realisme, dan Sugestif
Realisme (Mary McTigue, Ibid., 162).
Naturalisme merupakan sub gaya
Realisme yang paling ekstrim. Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yang
benar-benar mirip dengan kenyataan. Setiap detil dan struktur tata panggung
harus benar-benar mirip seperti aslinya sehingga panggung merupakan potret
kehidupan sesungguhnya. Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah, juga
percaya bahwa kondisi manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan dan
keturunan. Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak mengungkapkan kemerosotan
dan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan
kebusukan manusia dan hal-hal yang tak menyenangkan “dalam kehidupan”. Panggung
harus menggambarkan kenyataan sebenarnya yang mereka ambil dari kehidupan
nyata. Tokoh naturalisme yang sangat penting ialah Emile Zola. Ia mengangkat :
“Bukan drama, tetapi kehidupan yang harus disajikan pada penonton”. Sebagai
gerakan teater, naturalisme hanya hidup sampai tahun 1900 setelah itu hanya
realisme yang semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan teknologi
terutama kelistrikan yang dapat diguankan untuk menunjang teknik pemanggungan.
-
Gaya Post-Realistic
Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan
banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi
tertentu (Presentasional dan Representasional) dan berusaha memperluas
cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan.
Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya Realisme yang telah
menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersenidiri
dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Banyak percobaan
dilakukan sehingga pada masa tahun 1950-1970 di Eropa dan Amerika gaya ini
dikenal sebagai gaya Teater Eksperimen. Meskipun pada saat ini banyak teater
yang hadir dengan gaya Realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru
masih saja lahir dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya
yang dapat digolongkan dalam Post-Realistic, beberapa di antaranya sangat
berpengaruh dan banyak di antaranya yang tidak mampu bertahan lama.
Unsur-unsur gaya Post-Realistic
adalah:
·
Mengkombinasikan
antara unsur Presentasional dan Representasional
·
Menghilangkan
dinding keempat (the fourth wall), dan terkadang berbicara langsung
atau kontak dengan penonton
·
Bahasa
formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberpa idiom baru atau dengan
bahasa slank.
Beberapa gaya
Post-Realistic yang berpengaruh adalah:
·
Simbolisme, sebuah gaya yang menggunakan simbol-simbol
untuk mengungkapkan makna lakon atau ekspresi dan emosi tertentu. Meskipun pada
awalnya gaya ini muncul tahun 1180 di Perancis, namun baru memegang peranan
berarti pada tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima panca
indera dan pemikiran rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi dipercayai
untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka
kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yang
hanya dapat dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk
simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan
beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti; seni rupa (lukisan), musik,
tata lampu, seni tari, dan unsur seni visual lain. Simbolisme sering juga
disebut sebagai Teater Multi-Media.
·
Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton secara
langsung dan menyadarkan mereka bahwa yang mereka tonton adalah pertunjukan
teater dan bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya Realisme. Sengaja
menghapus “dinding keempat”, menggunakan properti imajiner atau tata dekorasi
yang berganti-ganti di hadapan penonton.
·
Surealisme, sebuah gaya yang mendapat pengaruh dari
berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud dalam usahanya untuk
mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi,
penyimpangan watak atau kejiwaan manusia, dan asosiasi bebas gagasan. Gaya ini
begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam lain atau dunia mimpi yang
terkadang muskil tapi hampir bisa dirasakan dan pernah dialami oleh semua
orang.
·
Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni rupa
pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis Van Gogh dan Gauguin. Namun
gerakan itu kemudian meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain termasuk teater.
Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih
merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia
baru muncul tahun 1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme dicapai
oleh Walter Hasenclever pada tahun 1914 dengan dramanya Sang Anak. Adapun
puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918 (pada saat Perang Dunia I) dan
mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme berkembang di
Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun pengaruhnya menjangkau
ke luar Eropa dan dalam masa yang lebih kemudian. Beberapa dramawan Amerika
yang terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme ini adalah: Elmer Rice, Eugene
O’neill, Marc Connelly, dan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak dalam
tata panggung dan elemen visual yang lebih bebas diatasnya, adegan mimpi dalam
lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik
dramatik dan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh
besar ekspresionisme dalam teater abad 20 (Yakob Soemardjo: 1983-1984).
·
Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajaran”.
Gaya ini menolak gaya Realisme, empaty, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan
teori atau pernytaan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan,
lagu, dan bahkan terkadang melaljui kontak lang sung dengan penonton. Gaya ini
sering juga disebut “Teater Obsevasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini
adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang
lazim disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yang konvensional ini
dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yang membuat penonton terpaku pasif.
Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat
dan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial
tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi
dan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.
·
Absurdisme, gaya yang menyajikan satu lakon yang seolah
tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa satu dengan yang lain, antara
percakapan satu dengan yang lain. Unsur-unsur Surealisme dan Simbolisme
digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk memberikan sugesti
ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama.
Drama-drama yang kini disebut absurd, pada mulanya dinamai eksistensialisme.
Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti “Eksistensi” atau “ada”. Apa
akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari?. Pencarian makna “ada” ini berpusat
pada diri pribadi sang manusia dan keberadaannya di dunia. Dua tokoh
eksistensialis yang terkemuka adalah: Jean Paul Sartre (1905) dan Albert Camus
(1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dan Camus lebih banyak menekankan
bentuk absurditas dunia itu sendiri. Dan obyek absurd itu mereka tuangkan dalam
bentuk teater yang absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah:
Samuel Beckett (1906), Jean Genet (1910), Harold Pinter, Edward Albee, dan
Eugene Ionesco (1912).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teater adalah tempat persembahan - persembahan kesenian yang dilakonkan di hadapan penonton secara langsung menggunakan
kombinasi pertuturan, gerak isyarat, muzik, tarian, bunyi dan sebagainya.
Teater dari waktu ke waktu terus bekembang
dan mengalami peubahan, dari jaman-jaman teater klasi menjadi teater-teater
modern. Di dalam kehidupan sehari-hari teate merupakan salah satu cara
penyebaan budaya, dalam pemeanan teater, terdapat berbagai macam masalah yang
di ungkapkan seperti masalah kehidupan sehari-hari, masalah moal, mengungkap
sejarah masa lalu dan lain-lain. Melalui teater, tokoh-tokoh dalam pementasan
menyampaikan amanat.
Di dalam Indonesia, tater mengalami
perkembangan dari tahun 1920-an sampai dengan saat ini. Teater di Indonesia sangat
banya contohnya seperti Makyong, Wayang, Mamanda, Lenong, Ketoprak, Ludruk dan
lain-lain.
B. Saran
Mungking dalam pembuatan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, tapi penyusun akan mencoba
untuk memperbaiki kekurangan dan kesalahan itu untuk kedepannya. Didalam
pembuatan ini penyusun mencari sumber materi dari internet.
Untuk memperbaiki kesalahan dan
kekurangan tersebut diharapkan kritik dan saran pembaca untuk lebih baik
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Santosa Eko,dkk.
2008.Seni Teater Jilid I untuk SMK. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional.
No comments:
Post a Comment