BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Suami
dan istri apabila telah menikah, maka antara keduanya memiliki hak dan
kewajiban masing-masing dan dalam pemenuhannya haruslah seimbang antara suami
dan isteri. Namun dalam
pelaksanaannya, banyak sekali ketimpangan yang terjadi dalam pemenuhan hak dan
kewajiban antara suami dan isteri, dimana budaya patriarkhi yang
masih mendominasi dunia membuat kesetaraan dalam pemenuhan hak dan kewajiban
antara suami dan istri belum dapat terpenuhi dalam arti yang seimbang. Masih tetap
saja terjadi ketidakseimbangan antara keduanya.
Bukan
menjadi rahasia umum, jika dalam rumah tangga, seorang istri diperlakukan tidak
seimbang dalam hak nya. Dan sebaliknya banyak kaum perempuan yang sangat
tersiksa karena harus menaati kewajibannya yang merupakan hak suami. Hal ini
dimungkinkan kesalahan dalam memahami dan terlanjur budaya telah
membentuk maind set itu, sehingga pemenuhan akan
hak isteri kurang diperhatikan.
Dari
sinilah penulis mengambil judul tersebut, dan menurut hemat penulis hal
tersebut adalah hal yang sangat krusial dimana saat ini banyak perempuan yang
tidak hanya berada di wilayah domestik seperti hanya mengurus rumah tangga,
namun zaman sekarang sudah banyak perempuan yang turut berkecimpung di wilayah
publik.
BAB II
PEMBAHASAN
Kesempatan yang lalu, telah diangkat mengenai kewajiban istri di
web Muslim.Or.Id tercinta ini. Saat ini, giliran suami pun harus mengetahui
kewajibannya. Apa saja kewajiban suami, berkaitan dengan berbuat baik pada
istri dan kewajiban nafkah, akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali
ini. Moga dengan mengetahui hal ini pasutri semakin lekat kecintaannya, tidak penuh
ego dan semoga hubungan mesta tetap langgeng.
Pertama:
Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)
Yang dimaksud di sini adalah
bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal
mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka dengan
baik.”
(QS. An Nisa’: 19).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي
عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf.”
(QS. Al Baqarah: 228).
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik
kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang
yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu
Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’
ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan
dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika
istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di
dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami
utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci
satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.
Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan
tempat tinggal dengan baik
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami
untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal
lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak
punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak,
termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah
dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan
dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang
mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى
النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ
فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ
فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ
ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya
telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh
permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka
melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.
Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada
istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ –
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian
sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak
memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan
adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku
nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa
sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى
مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya”
(HR. Bukhari no. 5364).
Lalu berapa besar nafkah yang
menjadi kewajiban suami?
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ
سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya.”
(QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula)”
(QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Hindun,
خُذِى
مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya”
(HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan
bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
1. Mencukupi istri dan anak dengan
baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
2. Dilihat dari kemampuan suami,
apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat
tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas. Mencari nafkah bagi suami
adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu,
bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini. Masih ada beberapa hal terkait
kewajiban suami yang belum dibahas. Insya Allah akan berlanjut pada tulisan
berikutnya.
B. Kewajiban Istri
Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Kali ini rumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban istri. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa a’in.
C. Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam
ayat berikut ini,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’:
34)
Hak suami yang menjadi
kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ
النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ
عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku
memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan
memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan
begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no.
2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada
suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ
خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا
ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu
menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta
betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada
suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah
dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191
dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
“Tidak ada hak yang lebih
wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya-
daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami
adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami
yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai
hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami,
senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ
إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا
وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab
beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati
suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya
sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih)
Begitu pula tempat seorang
wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya,
apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan
menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya
dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya
kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ:
نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ
عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ
وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah
bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana
(sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku
tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena
suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya.
Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani
dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami
tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan
menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di
saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam
perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam
perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits
ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin
suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap
di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh
keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk
mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun
untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang
istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata,
“Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas
mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ
تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak
istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan
melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no.
1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan
dengan lafazh,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا
مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ
كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat
tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit
(penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”
(HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya
wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah
uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih
Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan,
maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan
izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى
النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ
فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ
فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah kalian dalam
urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil
mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan
kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan
seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR.
Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ
تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ
فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
“Tidak halal bagi seorang
isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.
Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya.
Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami
mendapat setengah pahalanya”. (HR.
Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban
disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ
بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita
mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada
melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh
Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika
tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika
seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka
tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin
suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak
diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ
بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi
seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali
dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya
disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita
berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian)
kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’
6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan
Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami
sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di
atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan
waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.”
(Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud
larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di
bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan
dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin
suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin
suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya
tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas
fuqoha. Ulama Hanafiyah enganggapnya makruh tahrim. Ulama
Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram
jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali
(artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa
‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin
suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28:
99)
Jadi, puasa yang mesti
dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki
batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis), (2) puasa wajib yang masih
ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’
puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.
D. Jika Suami Tidak Di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil
yang telah disebutkan, jika
suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami
ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika
suami sedang bersafar, sedang
sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin
melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu
pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di
tempat.
E. Hikmah Mengapa Harus Dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini
terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada
menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah
suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan
ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab
terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak
untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya.
Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kewajiban seorang suami jdalam masa
iddah (talak raj’i) yaitu memberikan tempat tinggal dan nafkah kepada istrinya.
Dan jika dia punya seorang anak maka dia juga berkewajiban membiayai anaknya.
Sedangkan yang menjadi hak dan kewajiban seorang istri dalam masa iddah ialah:
1. Tidak boleh dipinang oleh
laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun
bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan
sindiran.
2. Dilarang keluar rumah menurut
jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak,
seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan
ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau
mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
3. Berhak
untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
4. Wanita
yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir
dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru tidak lagi
mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di
rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5. Wanita
tersebut wajib berihdad (iddah
wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat
kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6. Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat,
sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.
B.
Saran
Kami sadar bahwa apa yang ada ditangan pembaca saat ini jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami senantiasa mengharapkan uluran tangan yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan makala ini dikemudian hari. Kami hanya
berharap bahwa makala ini mampu menjadi sebuah referensi yang ideal dalam hal
pengkajian tentang Iddah Dalam Perspektif Islam (Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa Idda) . Terkhusus dalam menyelesaikan
dilema-dilema yang sering muncul dalam kalangan masyarakat awam mengenai
masalah iddah khususnya mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam masa
iddah.
Mengingat bahwa penyelesaian masalah yang belum ada dasar
hukumnya bagi masyarakat awam merupakan hal yang lazim di telinga mereka,
tentunya untuk mengamalkannya memerlukan pemahaman yang cukup memadai agar
dalam pelaksanaannya kita tidak lagi mengalami kekeliruan, karena apabila kita
keliru dalam menafsirkan, niscaya dalam pelaksanakaannya tidak sempurnah.
Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat memudahkan kita, khususnya dalam
proses pengamalannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Sayyid sabiq, Fikih Sunnah 7,Bandung PT.Alma’rif
.2006
Kompilasi Hukum Islam, Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarasan, Hukum Perwakafan. fokusmedia Bandung,2005.
Prof.H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Di
Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Islam,cv.mandar
maju.bandung 1990.
Cahyadi takariawan dkk, Keakhwatan 3 bersama tarbiyah
mempersiapkan tegaknya rumah tangga islami,intermedia,solo.2004
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempaun dalam Islam, terjemahan
Farid Wajidi, Bandung, LSPPA, 1994
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
1983).
No comments:
Post a Comment