BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah
agama fitrah, agama yang sejalan dengan tuntutan watak dan sifat pembawaan
kejadian manusia. Oleh karena itu, Islam memperhatikan kenyataan-kenyataan
manusiawi, kemudian mengaturnya agar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan.
Pengaruh iklim membawakan perbedaan-perbedaan dalam kenyataan hidup manusia.
Tiap-tiap individu mempunyai pembawaan yang mungkin berbeda dengan individu
yang lain. Keadaan sosial dalam suatu masyarakat pada masa terterntu mengalami
problem-problem yang minta pemecahan.
Sebenarnya
tujuan dari peraturan tentang poligami dalam Islam itu diantaranya ialah untuk
menyelamatkan dan menolong kaum wanita, sebagaimana dipraktekkan oleh
Rasulullah SAW terhadap istri-istri beliau. Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4) : 3
berfungsi memberikan batasan serta syarat yang ketat, yaitu batasan maksimal
empat istri dengan ketentuan mesti berlaku adil. Artinya tidak boleh ada
anggapan bahwa Al-Qur’an mendorong poligami, tetapi justru memberikan jalan
keluar apabila dalam suatu keadaan terpaksa seorang harus memilih antara
perzinahan dan poligami, atau antara membiarkan wanita terlantar dan sengsara
tak bisa nikah dan menjadi istri kedua.
Pembacaan
terhadap dasar nash maupun hadits berkenaan dengan masalah ini hendaknya
dilakukan secara utuh. Untuk menentukan seatu hukum atas boleh atau tidaknya
poligami harus mengkaji semua ayat maupun hadits yang brkenaan dengannya dengan
selektif dan penafsiran yang memperhatikan berbagai persepektif, baik
secara tetkstual maupun kontektual. Untuk mengambil suatu kesimpulan hukum
tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah-setengah dalam pembacaannya.
Karena itu makalah ini, penulis mencoba memaparkan beberapa hadits mengenai
masalah poligami yang penulis uraikan berangkat dari pemahaman teks yang biasa
dijadikan rujukan bagi orang-orang yang pro dan kontra poligami. Dan posisi
penulis dalam masalah ini adalah sebagai penengah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kriteria
Bolehnya Poligami
Sabda Rasulullah SAW :
عَنْ ابْنِ
عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ
نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ . ( رواه ترميدي )
Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan
ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga masuk
Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih
(mempertahankan) empat diantara mereka. (HR. Tirmidzi).
1. Sandaran
Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dari Hannad, dari ‘Abdah, dari Sa’id bin Abi ‘Arwah, dari Ma’mar
dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ibnu Umar.
2. Kosa Kata
Ø نِسْوَةٍ : secara
leterlek berarti perempuan atau wanita, tetapi dalam konteks hadits di
atas ” نِسْوَةٍ “ diarikan istri.
Ø الْجَاهِلِيَّةِ : zaman
sebelum Islam. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sebelum Ghailan masuk
Islam.
3. Sababul
Wurud & Munasabah
Hadits tersebut di atas,
membicarakan tentang Ghailan Ats-Tsaqafi yang mana sebelum masuk Islam mempunyai
sepuluh orang istri. Ketika ia masuk Islam ke sepuluh orang istrinya itu turut
masuk Islam bersamanya. Oleh karena dalam Islam seorang laki-laki tidak boleh
beristri lebih dari empat, maka Nabi menyampaikan hadits di atas. Yakni,
menyuruh atau memerintah mempertahankan empat diantara mereka dan menceraikan
yang lainnya.
Hadits senada dengan riwayat di atas
adalah sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Ahamad dari jalan yang
berbeda, yaitu :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ
عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَسْلَمَ غَيْلَانُ بْنُ سَلَمَةَ
وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خُذْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا . (رواه ابن
ماجه)
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada kami
Muhammad bin Ja’far; telah bercerita kepada kami Ma’mar; dari Az-Zuhri; dari
Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk Islam, sedangkan
padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya ; “silahkan
ambil (pertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Ibnu Majah)
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ
أَرْبَعًا. (رواه أحمد)
Telah bercerita kepada kami Ismail; telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar
dari Az-Zuhri, dari Salim, dari bapaknya, bahwa Ghailan bin Salamah masuk
Islam, dan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya;
“pilihlah empat diantara mereka”. (HR. Ahmad)
Rasulullah SAW memberikan ancaman terhadap suami yang tidak berlaku adil
terhadap para istrinya ;
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَمَالَ إِلَى أَحَدِهِمَا فِيْ
الْقِسْمِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ أَحَدُ شَاقَيْهِ مَائِلاً . ( رواه أبو
داود و النّسائى و ابن ماجة و أحمد )
“Dari Abi Hurairah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Barang siapa yang
mempunyai dua orang istri lalu ia lebih condong pada salah satunya dalam
memberikan bagian, maka ia akan datang pada hari kiamat kelak salah satu
betisnya dalam kedaan miring (pincang)”.
Dalam suatu riwayat, ketika putri Rasulullah Fatimah hendak dipoligami oleh
Ali bin Abi Thalib RA. Ketika beliau mendengar rencana poligami ini, beliau
langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, berseru : “Beberapa keluarga Bani
Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka
dengan Ali bin Abi Thalib,-ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi
tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi
Thalib mau menceraikan putriku, silahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah,
putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggau perasaannya adalah menggangguku
juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakitiku juga”.
ketika putri beliau Fatimah binti Muhammad AS akan dipoligami Ali bin Abi
Thalib RA. Ketika beliau mendengar rencana poligami ini, beliau langsung masuk
ke masjid dan naik mimbar, berseru : “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin
al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin
Abi Thalib,-ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan
mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau
menceraikan putriku, silahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu
bagian dariku; apa yang mengganggau perasaannya adalah menggangguku juga, apa
yang menyakiti hatinya adalah menyakitiku juga”. (Jami’ al-Ushul, juz XII,
162, no. hadits: 9026). Larangan ini dari Nabi Saw, berarti pelarangan poligami
juga bisa sunnah. Ali bin Abi Thalib ra sendiri baru mengawini perempuan lain
setelah Fatimah ra wafat.
Larangan ini dari Nabi Saw, berarti
pelarangan poligami juga bisa sunnah. Ali bin Abi Thalib ra sendiri baru
mengawini perempuan lain setelah Fatimah ra wafat.
4. Penjelasan
Secara eksplisit hadits Tirmidzi,
Ibn Majah dan Ahmad menunjukkan bolehnya berpoligami dengan ketentuan tidak
boleh lebih dari empat. Seandainya poligami tidak boleh mestinya Nabi
memerintahkan Ghailan memilih salah satu saja dari sepuluh orang istrinya dan
menceraikan yang lain. Ini menunjukkan bahwa batasan maksimal seorang laki-laki
yang berpoligami adalah empat orang istri.
Namun, apakah bolehnya
berpoligami itu mutlak untuk semua orang tanpa ada ketentuan dan syarat yang
harus dipenuhi. Apabila kita baca surat An-Nisa’ ayat 3 dan korelasi dengan
hasits-hadits lain, seperti hadits tentang pelarangan Ali yang hendak melakukan
poligami, serta ancaman Rasulullah SAW bagi seorang suami yang tidak dapat
berlaku adil terhadap isteri-isterinya sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
dipahami bahwa Islam tidak memerintah, apalagi mewajibkan poligami, dan tidak
memberikan kesempatan yang longgar kepada kaum Muslimin untuk
berpoligami. Artinya, seorang yang hendak berpoligami harus memenuhi
syarat dan ketentuan yang berlaku.
Banyak penafsiran mengapa Nabi Saw
melarang putrinya dipoligami Ali bin Abi Thalib ra adalah putri Abu Jahl bin
Hisyam, musuh Allah Swt dan musuh Nabi Saw. tetapi beberapa penafsiran lain
menyebutkan memang karena Nabi Saw tidak menginginkan putri beliau Fathimah ra
dipoligami dengan siapapun, karena poligami itu menyakiti hatinya, dan yang
menyakiti hatinya juga menyakiti hati Nabi Saw. Karena itu, seperti dinyatakan
Ibn Hajar al-‘Asqallani, ada ulam yang menyatakan bahwa poligami bisa saja
dilarang jika bisa menimbulkan kerusakan dan kezaliman, tentu terhadap
perempuan dan anak-anak. (lihat Fath al-Bari, 10/412).
Dari sudut fiqh, sebagai rekaman
dari sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan ‘poligami itu sunnah’ juga merupakan
reduksi yang sangat besar. Sunnah dalam bahasa fiqh adalah sesuatu yang jika
dilakukan memperoleh pahala, dan jika ditinggalkan tidak memperoleh dosa.
Pelabelan sunnah dengan makna fiqh ini terhadap poligami adalah sesuatu yang
perlu diluruskan. Dalam hal nikah bisa saja, fiqh menawarkan berbagai predikat
hukum tergantung kondisi calon suami, calon isteri atau kondisi masyarakat;
bisa wajib, sunnah, mubah atau sekedar diizinkan. Bahkan Imam al-Alusi dalam
tafsirnya Ruh al-Ma’ani menyatakan bahwa nikah bisa diharamkan ketika calon
suami tahu bahwa dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak isterim, apalagi
sampai menyakiti dan mencelakakannya. Dalam hal ini, poligami juga harus
dikaitkan dengan situasi sosial, kondisi calon suami dan calon isteri, tidak
sesederhana pernyataan bahwa poligami adalah sunnah.
Poligami itu sunnah’ adalah penyederhanaan
terhadap persoalan yang sebenarnya kompleks. Sunnah sendiri, atau teks-teks
hadis tidak sesederhana ungkapan tersebut, bahkan fiqh juga mengaitkannya
dengan berbagai latar kondisi. Lebih tepat untuk dikatakan bahwa
monogami-poligami dalam karakteristik fiqh Islam adalah termasuk persoalan
parsial, bukan prinsip, yang predikat hukumnya mengikuti kondisi ruang dan
waktu. Prinsipnya adalah keadilan, membawa kemaslahatan, tidak mendatangkan
mudharat dan kerusakan (mafsadah).
Untuk mengidentifikasi nilai-nilai
ini dalam kaitannya dengan praktek monogami-poligami, semestinya harus
melibatkan perempuan, yang akan memperoleh imbas langsung dari keputusan dan
kebijakan apapun dalam poligami. Ini dilakukan dengan pengujian empirik dan
inter-disipliner yang obyektif terhadap efek poligami dan kondisi sosial
masyarakat. Mungkin jika dilakukan, kebanyakan orang seperti Syeikh Muhammad
‘Abduh, Nashr Hamid Abu Zaid, Aminah Wadudu dan yang lain lebih memilih untuk
mengatakan bahwa Islam itu pada dasarnya adalah monogam. Bahkan ia menyarankan
pelarangan poligami yang pada prakteknya banyak mencelakakan perempuan dan
merusak keutuhan keluarga. Dalam konteks ini ‘Abduh menyindir teks hadits Nabi
Saw : “Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri
atau orang lain”. (Jami’a al-Ushul, VII, 412, no. hadits: 4926). Ungkapan ini
tentu lebih prinsip dari pernyataan ‘poligami itu sunnah’.
Dengan memperhatikan konteks Ayat 3
QS. An Nisa’ yang membolehkan perkawinan poligami tersebut dapat diperoleh
ketentuan bahwa perkawinan poligami menurut ajaran Islam merupakan kekecualian
yang dapat ditempuh dalam keadaan yang mendesak. Dalam keadaan biasa, Islam
berpegang kepada prinsip monogami, kawin hanya dengan seorang istri saja, yang
dalam Alquran tersebut dinyatakan akan lebih menjamin suami tidak akan berbuat
aniaya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai
kesimpulan, persoalan poligami adalah persoalan budaya yang ada sejak ribuan
tahun sebelum Islam. Al Qur’an diturunkan pada saat budaya poligami sangat
mengakar, sehingga yang diperlukan saat itu adalah pembatasan dan kritik
terhadap perilaku poligami yang menyimpang. Bisa dinyatakan bahwa poligami
tidak ada kaitannya dengan keberagamaan seseorang, keimanan, ketakwaan dan
ketaatannya kepada Allah Swt. Justru yang terkait dengan keIslaman dan keimanan
adalah sejauh mana setiap orang bisa berbuat baik terhadap orant-orangterlantar
dan yang dipinggirkan serta mereka yang menjadi korban kekerasan struktur
sosial. Seperti yang diwasiatkan Nabi Saw pada saat haji Wada’, semua orang
diharuskan berbuat baik terhadap perempuan, menghargai dan mengagungkan mereka.
Persoalan apakah monogami atau poligami yang lebih memartabatkan perempuan,
selayaknya diserahkan kepada nurani para perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Faridl, Miftah, KH., 150 Masalah Nikah &
Keluarga, Jakarta : Gema Insani, 1999
Azhar Basyir, Ahmad, MA, KH., Hukum
Perkawinan Islam, Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mājah : Hadīts Nomor
1859, JUZ VI, Beirut : Dar al-Fikri, 1415/1995
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz IV, Beirut,
Dar al-Fikri, 1995
Ahmad, Musnad Ahmad, Juz IX, Beirut, Dar
al-Fikri, 1995
No comments:
Post a Comment