BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Allah
telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan
salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk
generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah manusia diberikan karunia
berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk
melanjutkan dan melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya
kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-benar
manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan yang sesuai
dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga pernikahan itu pulan akan lahir
keturunan secara terhormat, maka adalah satu hal yang wajar jika pernikahan
dikatakan wajar pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa dan sangat
diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NIKAH
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah.
Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata
nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal
dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah
dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang
berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan
biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi,
serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan
kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
B.
TUJUAN NIKAN
Tujuan Nikah ditinjau dari : Tujuan Fisiologis
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua
anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua
anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri
dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
Tujuan Nikah ditinjau dari : Tujuan
Psikologis
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1.
Tempat semua anggota keluarga diterima
keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2.
Tempat semua anggota keluarga mendapat
pengakuan secara wajar dan nyaman.
3.
Tempat semua anggota keluarga mendapat
dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4.
Basis pembentukan identitas, citra dan
konsep diri para anggota keluarga.
Tujuan Nikah ditinjau dari:Tujuan
Sosiologis
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat
menjadi :
1.
Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap
anggota keluarga.
2.
Unit sosial terkecil yang menjembatani
interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai
unit sosial yang lebih besar.
C. HUKUM NIKAH
1. Hukum Pernikahan
a.
Hukum Asal Nikah
adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya
boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan
ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang
yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah,
wajib, makruh atau haram.
b.
Nikah yang Hukumnya
Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah.
Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan
hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan
hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak
semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya
mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan
berkehendak untuk nikah.
c.
Nikah yang Hukumnya
Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa
diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib.
Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah
saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk
golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada
sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika
kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan
zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah
perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda
sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu,
sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan
Abu Daud)
d.
Nikah yang Hukumnya
Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan
telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai
bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e.
Nikah yang Hukumnya
Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti
perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan
puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:
Maka nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan
juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada
mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya),
MahaMengetahui. (QS.An-Nur/24:32)
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Q.S
An-Nur/24:32)
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka
bahwa dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan
faktor dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk
mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau
sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk
menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan
mudharat yang lebih besar pada orang lain.
D.
RUKUN DAN SYARATNYA PERNIKAHAN
Rukun
pernikahan ada lima:
1. Mempelai laki-laki syaratnya: bukan
dari mahram dari calon istri, idak terpaksa, atas kemauan sendiri, orangnya
tertentu, jelas orangny,calon suami, syaratnya
antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan
mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Mempelai perempuan
syaratnya-syaratnya: tidak ada halangan syar’I yaitu tidak bersuami, bukan
mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas
orangnya. Calon istri, syaratnya antara lain
beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi calon
suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Wali (wali si perempuan)
keterangannya adalah sabda Nabi Saw:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها
فنكاحها باطل
“Barangsiapa diantara perempuan yang
menikah dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal” (Riwayat Empat
Ahli Hadis kecuali Nasa’I)
Dan
syarat-syaratnya : laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil.
Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam,
baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak
sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan
atau mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana
saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”.
(HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan
dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung,
bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak
dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki
kandung.
4) Saudara laklaki
sebapak.
5) Anak laki-laki dari
saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara
laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki
paman.
9) Hakim. Wali hakim
berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang
berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah
melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
4. Dua orang saksi
Dua orang saksi,
syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka
(tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
لا نكاح إلا بولي وشاهد عدل (رواه
أحمد)
“Tidak
sah nikah kecuali dengan wali dengan 2 saksi yang adil” (HR. Ahmad)
Syarat-syaratnya:
laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas
(tidak dipaksa), memahami bahasa yang digunakan ijab qabul.
5. Sighat (akad) yaitu perkataan dari
pihak wali perempuan, seperti kata wali “Saya nikahkan kamu dengan anak saya
bernama……………..” jawab mempelai laki-laki “Saya terima menikahi……………………”, boleh
juga didahului perkataan dari pihak mempelai seperti “Nikahkanlah saya dengan
anakmu” jawab wali “Saya nikahkan engkau dengan anak saya………………..” karena
maksudnya sama.
Tidak
sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya.
Sabda Rasulullah Saw:
اتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن
بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله (رواه مسلم)
“Takutlah
kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil mereka dengan
kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah”
(HR. Muslim)
Yang
dimaksud dengan kalimat “kalimat Allah” dalam hadis ialah Al-Qur’an, dan dalam
Al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij) maka harus
dituruti agar tidak salah pendapat yang lain, asal lafadz akad tersebut ma’qul
ma’na, tidak semata-mata ta’abbudi.
E.
MAHRAM
Masalah mahram merupakan salah satu masalah yang
penting dalam syari’at Islam. Karena masalah ini memiliki kaitan yang sangat
erat dengan hubungan mu’amalah diantara kaum muslimin, terutama bagi muslimah.
Allah Ta’ala telah menetapkan masalah ini sebagai bentuk kasih sayang-Nya juga
sebagai wujud dari kesempurnaan agama-Nya yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam.
Istilah mahram adalah istilah yang terdapat di dalam
bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak boleh atau
terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang
pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.
Contoh
hubungan mahram adalah seorang ibu yang menjadi mahram buat anaknya. Tidak
boleh atau tidak mungkin terjadi hubungan pernikahan antara ibu dengan anak.
Demikian juga seorang laki-laki menjadi mahram buat saudara wanitanya, dengan
tidak boleh adanya pernikan sedarah.
Para
ulama telah menyusun daftar hubungan kemahraman yang muabbad dan yang ghairu
muabbad sebagai berikut :
1.
Mahram Muabbad
Mereka
yang termasuk mahram selama-lamanya bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama
karena hubungan nasab . Kedua, karena hubungan persusuan.
a. Mahram karena
Nasab
1. Ibu
kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
2. Anak
wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
3. Saudara
kandung wanita.
4. `Ammat/
Bibi .
5. Khaalaat/
Bibi .
6. Banatul
Akh/ Anak wanita dari saudara laki-laki.
7. Banatul
Ukht/ anak wnaita dari saudara wanita.
b. Mahram karena Mushaharah
Sedangkan
kemahraman yang bersifat sementara adalah kemahraman yang terjadi akibat adanya
pernikahan. Atau sering juga disebut dengan mushaharah . Mereka adalah:
1. Ibu
dari isteri .
2. Anak
wanita dari isteri .
3. Isteri
dari anak laki-laki .
4. Isteri
dari ayah .
c. Mahram karena Penyusuan
1. Ibu
yang menyusui.
2. Ibu
dari wanita yang menyusui .
3. Ibu
dari suami yang isterinya menyusuinya .
4. Anak
wanita dari ibu yang menyusui .
5. Saudara
wanita dari suami wanita yang menyusui.
6. Saudara
wanita dari ibu yang menyusui.
2. Mahram Ghoiru Muabbadah
Adapun
yang dimaksud dengan mahram ghoiru mu’abbadah adalah wanita-wanita untuk
sementara waktu saja, namun bila terjadi sesuatu seperti perceraian, kematian,
habisnya masa iddah ataupun pindah agama, maka wanita itu boleh dinikahi.
Mereka adalah:
1. Wanita
yang masih menjadi isteri orang lain tidak boleh dinikahi. Kecuali setelah
cerai atau meninggal suaminya dan telah selesai masa iddahnya.
2. Saudara
ipar, atau saudara wanita dari isteri. Tidak boleh dinikahi sekaligus juga
tidak boleh berkhalwat atau melihat sebagian auratnya. Kalau isteri sudah
dicerai maka mereka halal untuk dinikahi. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi
dari isteri.
3. Isteri
yang telah ditalak tiga, haram dinikahi kecuali isteri itu telah menikah lagi
dengan laki-laki lain, kemudian dicerai dan telah habis masa iddahnya.
4. Menikah
dalam kesempatan dengan melakukan ibadah ihram. Bukan hanya dilarang menikah,
tetapi juga haram menikahkan orang lain.
5. Menikahi
wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Kecuali bila tidak mampu
membayar mahar wanita merdeka karena miskin.
6. Menikahi
wanita pezina, kecuali yang telah bertaubat taubatan nashuha.
7. Menikahi
wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah, kecuali setelah
masuk Islam atau pindah memeluk agama yahudi atau nasrani.
F.
HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai
pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan
baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat
manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia.
Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan
jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain.
Di bawah ini
dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1. Pernikahan Dapat
Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga. Allah berfirman:
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga. Allah berfirman:
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya
ialah dia meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terhadap
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
2. Pernikahan Dapat
Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap orang
menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah idaman
semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan selalu
mendoakan orang tuanya.
Rasulullah saw.
bersabda:
Dari Abu Hurairah
ra., Rasulullah saw., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu Adam,
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)
3. Dengan Pernikahan,
Agama Dapat Terpelihara
Menikahi perempuan
yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama
terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah saw.
memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh. Mempunyai istri
yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan
agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas bin malik
ra., Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang
shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia
memelihara separuh yang tersisa”. (HR. At-Thabrani)
4. Pernikahan dapat
Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita
Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pernikahan
merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah
menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan
terhormat pula.
Firman Allah dalam
Al-Qur’an:
Dan bergaulah
dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)
Karena itu
nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas,
karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS.
An-Nisa/4:25)
5. Pernikahan Dapat
Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik
pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini
memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah
melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap
mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan
terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.
Firman Allah dalam
Surah Al-isra ayat 32:
Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)
Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan
struktur sosial yang jelas dan adil.
2. Dengan nikah, akan
terangkat status dan derajat kaum wanita.
3. Dengan nikah akan
tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.
4. Dengan nikah agama
akan terpelihara.
5. Dengan pernikahan
terjadilah keturunan yang mampu memakmuram bumi.
G.
PERKAWINAN MENURUT
UNDANG UNDANG DASAR
1.
Bagi suatu Negara dan Bangsa
seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus
menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama
ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat
kita.
2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan
warganegara dan berbagai daerah seperti berikut :
a.
bagi orang-orang Indonesia Asli
yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;
b.
bagi orang-orang Indonesia Asli
lainnya berlaku Hukum Adat;
c.
bagi orang-orang Indonesia Asli
yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933
Nomor 74);
d.
bagi orang Timur Asing Cina dan
warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
e.
bagi orang-orang Timur Asing
lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut
berlaku hukum Adat mereka;
f.
bagi orang-orang Eropa dan
Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
1)
Sesuai dengan landasan falsafah
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak
harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain fihak harus dapat pula menampung
segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang undang
Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan
Hukum Agamanya dan Keper- cayaannya itu dari yang bersangkutan.
2)
Dalam Undang-undang ini
ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkahwinan adalah merupakan sunnah Rasulullah s.a.w.
dan ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah An - Nisaa' - Ayat 3, maka nikahlah
menurut ajaran Islam yang sesuai dengan Rukun dan syarat nikah yang benar,
tidak ada cacat atau cela dan tidak mahram.
Jika terjadi pernikahan antara laki-laki dan perempuan
yang tidak syah maka hukumnya haram. Apabila dipaksakan untuk tetap berjalan
dalam kehidupan berumah tangga, maka orang tersebut senantiasa hidup dalam
perzinaan.
Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan sebaiknya
memperhatikan petuah orang jawa dahulu yaitu bibit, bobot dan bebet , artinya
tahu silsilah keturunan, kepribadian dan perilakunya.
B.
SARAN
Akhirnya, pemakalah
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu di dalam
menyelesaikan makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari mahasiswa
serta dosen pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi kebaikan kita
bersama terutama bagi pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan
terjemahnya. Toha Putra
Mughniyah,
Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima
Madzhab. Jakarta: Lentera
Rasjid,
H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam.
Bandung: Sinar Baru Algesindo
Rifa’I,
H. Moh. Fiqih Islam Lengkap.
Semarang: PT Karya Toha Putra
Drs.
H. Muh. Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap.
(Semarang: PT Karya Toha Putra)
H.
Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam.
(Bandung: Sinar Baru Algesindo) 381-383
http://rumahabi.info, http://id.shvoong.com, http://www.eramuslim.com
No comments:
Post a Comment