BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai
negara hukum, tentunya hukum menjadi salah satu instrumen penting dalam
pembangunan Indonesia. Pembangunan yang di maksudkan tentunya tidak pada fisik
semata yang terbatas oleh ruang dan waktu tertentu. Melainkan pembangunan
kualitas segenap rakyat Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
yang bersifat proyeksi jauh kedepan. Pada zaman reformasi sekarang ini, hukum
di tuntut menjadi panglima bagi kemajuan bengasa, seiring dengan kemajuan
demokrasi kita. Namun, dewasa ini hukum cenderung terpasung oleh demokrasi itu
sendiri. Demokrasi seharusnya dapat berbanding lurus dengan kedaulatan hukum (Nomokrasi)
dalam perjalananya membangun bangsa ini.
Hukum selalu
menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia untuk mewujudkan keadilan. Keadilan
yang menjadi salah satu dari tujuan hukum seharusnya dapat di praktekan dalam
upaya membangun masyarakat, bukan mengadili masyarat dalam pembanguan dengan
dalih bahwa kita adalah negara hukum. Peranan hukum dalam membangun masyarakat,
berarti juga bahwa kedaulatan hukum berada di tangan rakyat sebagaimana
pengertian kedaulatan rayat dalam berdemokrasi. Meskipun dalam penerapan serta
penegakannya antar demokrasi dan hukum berbeda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Di tinjau dari segi etimologi, hukum berasal dari bahasa arab yang
berbentuk mufrad (tunggal). Kata jamaknya adalah “alkas’nya di ambil alih dalam
bahasa indonesia menjadi “hukum”. Hukum juga dinamakan recht yang berasal
dari kata rechtum, di ambil dari bahasa latin yang berarti pimpinan atau
tuntunan atau pemerintahan.
Beberapa
pendapat tentang definisi hukum, di antara lain:
1. Menurut
Prof. Dr. P. Borst
Hukum adalah
keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat,
yang pelaksanaanya dapat dipaksakan dan bertujuan untuk mendapatkan tata atau
keadilan.
2. Menurut
Prof. Dr. Van Kan
Dalam buku
karangannya yang terkenal yaitu “Inleiding tot de Rechtswetenschap”
mendefinisikan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa
untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
3. Menurut
Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldoorn
Dalam
bukunya yang berjudul “Inleiding tot de Studie Van Het Nederlandse recht”
memberikan pengertian sebagai berikut “memberikan definisi/batasan hukum,
sebenarnya hanya bersifat menyamaratakan saja, dan itupun tergantung siapa yang
memberikan”.
B. Pengertian
Kontrol Sosial
Secara umum pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang di
tempuh kelompok atau orang masyarakat, sehingga para anggotanya dapat bertindak
sesuai denagn harapan kelompok atau masyarakat.Dalam sistem pemerintahan,
pengendalian sosial di artikan sebagai pengawasan yang di lakukan masyarakat
terhadap jalannnya pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparatnya.
pengertian pengendalian sosial tersebut mencakup segala proses yang di
rencanakan atau tidak serta bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa
warga masyarakat mematuhi kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Kontrol
sosial menurut para pakar :
·
Peter I. Berger
adalah
berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang
membangkang.
·
Roucek & Warren
adalah
proses yang terencana atau tidak terencan untuk mengajar individu agar dapat
menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilai-nilai kelompok tempat mereka
tinggal.
·
Soejono Soekanto
adalah suatu
proses baik yang direncanakan atau tidak, yang bertujuan untuk mengajak,
membimbing bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Jadi, Kontrol
sosial dapat disimpulkan sebagai semua cara yang atau sarana yang digunakan
untuk mengendalikan tingkah laku warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan
kaidah yang berlaku.
C. Hukum Sebagai Sosial Kontrol
Dalam memandang hukum sebagai
alat kontrol sosial manusia, maka hukum merupakan salah satu alat pengendali
sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui keberadaan pranata sosial
lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan).
Kontrol sosial merupakan aspek normatif kehidupan
sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkahg laku
yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai
larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi.
Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti
bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah
laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan
hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sangsi atau tindakan terhadap
si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh
pelakunya. Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat
berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman terwujud.
Pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok
menentukan tingkah laku kelompok lain, atau apabila kelompok mengendalikan
anggotanya atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain.
Dengan demikian pengendalian sosial terjadi dalam tiga taraf yakni:
1. kelompok
terhadap kelompok
2. kelompok
terhadap anggotanya
3. pribadi
terhadap pribadi
Dengan kata
lain pengendalian sosial terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk
bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai
dengan kehendaknya ataupun tidak. Jika dikatakan pengendalian sosial itu
memiliki unsur pengajakan atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain, maka
kesiapan pihak lain itu untuk menerimanya sudah tentu didasarkan kepada
keadaan-keadaan tertentu.
Sanksi hukum
terhadap perilaku yang menyimpang, ternyata terdapat perbedaan di kalangan
suatu masyarakat. Tampaknya hal ini sangat berkait dengan banyak hal, seperti
keyakinan agama, aliran falsafat yang dianut. Dengan kata lain, sangsi ini
berkait dengan kontrol sosial. Ahmad Ali menyebutkan sangsi pezina berbeda bagi
masyarakat penganut Islam secara konsekuen dengan masyarakat Eropa Barat. Orang
Islam memberikan sangsi yang lebih berat, sedangkan orang Eropa Barat memberi
sangsi yang ringan saja. Dengan demikian, di samping bukan satu-satunya alat
kontrol sosial, juga hukum sebagai alat pengendali memainkan peran pasif.
Artinya bahwa hukum menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat yang
dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran falsafat lain yang diperpeganginya.
Dalam pada
itu, disebutkan pula bahwa fungsi hukum ini lebih diperluas sehingga tidak
hanya dalam bentuk paksaan. Fungsi ini dapat dijalankan oleh dua pihak:
1) pihak
penguasa negara. Fungsi ini dijalankan oleh suatu kekuasaan terpusat yang
berwujud kekuasaan negara yang dilaksanakan olehthe ruling
class tertentu. Hukumnya biasanya dalam bentuk hukum tertulis dan
perundang-undangan.
2) masyarakat;
fungsi ini dijalankan sendiri oleh masyarakat dari bawah. Hukumnya biasa
berbentuk tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
Fungsi hukum
sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan dengan baik bila terdapat hal-hal
yang mendukungnya. Pelaksanaan fungsi ini sangat berkait dengan materi hukum
yang baik dan jelas. Selain itu, pihak pelaksana sangat menentukan pula. Orang
yang akan melaksanakan hukum ini tidak kalah peranannya. Suatu aturan atau
hukum yang sudah memenuhi harapan suatu masyarakat serta mendapat dukungan,
belum tentu dapat berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh aparat
pelaksana yang kimit terhadap pelaksanaan hukum. Hal yang terakhir inilah yang
sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Aparat sepertinya dapat
dipengaruhi oleh unsur-unsur lain yang sepatutnya tidak menjadi faktor penentu,
seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta kolusi. Citra penegak hukum masih rawan.
D. Hukum Sebagai Alat Pengubah Masyarakat
Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh
agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang
yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau
direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor
perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang
teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan sosial engineering atau sosial
planning. Hokum mepunyai pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak langsung di
dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Misalnya, suatu peraturan yang
menentukan system pendidikan tertentu bagi warga Negara mepunyai pengaruh
secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial.
Di dalam berbagai hal, hukum mempunyai pengaruh yang
langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa
terdapat hubungan yang langsung antara hokum dengan perubahan-perubahan sosial.
Suatu kaidah hokum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa
memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahliwaris mempunyai pengaruh langsung
terhadapat terjadinya perubahan-perubahan sosial, sebab tujuan utamanya adalah
untuk mengubah pola-pola perikelakuan dan hubungan-hubungan antara warga
masyarakat.
Pengalaman-pengalaman di Negara-negara lain dapat
membuktikan bahwa hokum, sebagiamana halnya dengan bidang-bidang kehidupan
lainnya dipergunakan sebagai alat untuk mengadakan perubahan sosial. Misalnya
di Tunisia, maka sejak diperlakukannya Code of Personal Status pada tahun 1957,
seorang wanita yang telah dewasa, mempunyai kemampuan hokum untuk menikah tanpa
harus di dampingi oleh seorang wali.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hokum
sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam
perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang
direncanakan. Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan
dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh
warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat
yang sudah kompleks di mana birokrasi memegang peranan penting
tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hokum untuk sahnya.
Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi
untuk mengubah masyarakat (secara Terencana), maka hokum diperlukan untuk
membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam
hal ini kaidah hokum mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan
membentuk badan-badan yang secara langsung berpengaruh terhadap
perkembangan-perkembangan di bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik.
E. Hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan.
Sebagai sosial engineering, hokum merupakan suatu
sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masayrakat, sesuai
dengan tujuan-tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya. Kalau hokum merupakan
sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka prosesnya tidak
hanya berhenti pada pemilihan hokum sebagai sarana saja. Selain pengetahuan
yang manatap tentang sifat hakikat hokum, juga perlu diketahui adalah
batas-batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun
mengatur perikelakuan warga masyarakat).
Suatu contoh misalnya, perihal komunikasi hokum. Kiranya sudah jelas, supaya hokum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hokum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarakat bagi penyebaran serta pelembagaan hokum. Komunikasi hokum dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Di samping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini lah yang dinamakan difusi.
Suatu contoh misalnya, perihal komunikasi hokum. Kiranya sudah jelas, supaya hokum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hokum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarakat bagi penyebaran serta pelembagaan hokum. Komunikasi hokum dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Di samping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini lah yang dinamakan difusi.
Masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan
kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan
penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya.
Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangkan tertentu.
Artinya, kalau dia sampai melampaui batas-batas yang ada, maka mungkin dia
menderita; sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam batas-batas tertentu,
maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula.
Apakah yang akan dipilih oleh pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok,
tergantung pada factor-faktor fisik, psikologis, dan sosial. Di dalam suatu
masyarakat di mana interaksi sosial menjadi intinya, maka perikelakuan yang
diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang sangat menentukan. Akan
tetapi, walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan
pilihan-pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur. Hal ini
disebabkan oleh karena manusia pribadi tadi menduduki posisi-posisi tertentu
dalam masyarakat dan peranannya pada posisi tersebut ditentukan oleh
kaidah-kaidah tertentu. Selain daripada itu, peranannya huga tergantung dan
ditentukan oleh berperannya pihak-pihak lain di dalam posisinya masing-masing.
Selanjutnya, hal itu juga dibatasi oleh pihak-pihak yang mengawasi dan
memberikan reaksi terhadap peranannya, maupun kemampuan serta kepribadian
manusia. Pribadi-pribadi yang memilih, melakukan hal itu, oleh karena dia
percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak
lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Oleh
karena itu, untuk menjelaskan mengapa seseorang menentukan pilihan-pilihan
tertentu, maka harus pula dipertimbangkan anggapan-anggapan tentang apa yang
harus dilakukannya atau tidak harus dilakukan maupun anggapan tentang yang
harus dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normative
yang terdapat pada diri pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi di
dalam dirinya, untuk dapat mengubah perikelakuannya, melaui perubahan-perubahan
terencana di dalam wujud penggunaan kaidah-kaidah hokum sebagai sarana. Dengan
demikian, maka pokok di dalam proses purabahan perikelakuan melaui
kaidah-kaidah hokum adalah konsepsi-konsepsi tentang kaidah, peranan dan sarana
maupun cara untuk mengusahakan adanya konformitas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian
diatas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum kita saat ini
tidak sedang berada pada posisi idealnya, sesuai dengan idealnya landasan
filosofis dan teoritis. Namun, sebagai negara hukum yang berdaulat, dengan
kemajemukan etnis, suku, dan ras yang kita miliki, kedudukan hukum
kita lebih di tunjukkan oleh suatu sistem hukum yang terintegrasi dan saling
berhubungan dalam sebuah hirraki sebagai negara hukum.
Dalam
prakteknya sebagai negara hukum, Indonesia terkesan lebih serius dalam pembentukan
hukum dari pada penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh banyaknya
sistem hukum yang mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia. Bangsa kita
mengalami kesulitan dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum yang
benar-benar dapat melindungi segenap rakyatnya. Ini tentunya di pengaruhi oleh
kemajemukan budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sehingga dalam
pembentukan hukum yang responsif serta aspiratif selalu menemukan kendala, baik
dalam pembentukannya ataupu dalam penegakannya.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai
materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan
kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang
kami peroleh hubungannya dengan makalah ini Penulis banyak berharap kepada para
pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para
pembaca khusus pada penulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian
Filosofis dan Sosiologis, (Cet I: Jakarta: Chandra Pratama, 1996).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul ul-Fiqhi (Kairo:
Darul Fikriil ‘Arabi, t.th).
Chandra Pratama, 1996). Muhammad Abu Zahrah, Ushul
ul-Fiqhi (Kairo: Darul Fikriil ‘Arabi, t.th).
No comments:
Post a Comment